Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Dalam menciptakan situasi yang aman dan kondusif, Polsek Wara Kota Palopo terus memberikan himbauan-himbauan kamtibmas, Selasa (15/02/2022).
Dalam kegiatan kali ini, Kapolsek Wara Kompol Deni Ratmodiharjo memimpin langsung kegiatan pemberian himbauan kepada warga.
Kapolsek Wara menyampaikan himbauan terkait dampak negatif penjualan maupun konsumsi minuman keras (Miras) terhadap kondisi kesehatan tubuh serta potensi terganggunya stabilitas kamtibmas.
“Kita akan lakukan patroli dengan sasaran warung penjual minuman keras. Kepada pemilik warung kita himbau agar tidak berjualan minuman keras (miras) maupun sejenisnya lagi,” ucap Kompol Deni.
Selain itu, Kompol Deni Juga meminta kepada warganya untuk tidak melakukan hal-hal yang negatif, seperti minum-minuman keras (miras) sehingga berujung pada pelanggaran hukum.
“Himbauan kamtibmas merupakan salah satu upaya untuk menekan penjualan minuman tradisional (ballo), sehingga meminimalisir terjadinya gangguan kamtibmas diwilayah hukum polsek wara,” tutup Kapolsek Wara.
Sulsel memiliki kultur yang terbilang tempramentatif. Ada filosofi siri na pacce yang dianut masyarakat yang kerap ditafsirkan keliru. Lengkapnya, di masyarakat tradisional tumbuh kebiasaan mengonsumsi miras berupa ballo.
Ballo ini yang banyak menjadi pemicu kejahatan, terutama kekerasan. Dari fakta yang ada,di masyarakat terjadi banyak konflik karena dua hal. Pertama, karena filosofi siri na pacce yang disalahtafsirkan, dan kedua karena miras (ballo) yang dikonsumsi dianggap sebagai hal yang biasa.
“Seperti fenomena begal sekarang ini, dominan pelakunya itu dalam pengaruh miras. Ada budaya keliru di masyarakat kita yang menganggap miras itu sebagai simbol kelaki-lakian. Bukan laki-laki kalau tidak minum ballo,” ujar budayawan Ishak Ngeljaratan, dalam tulisannya tentang kultur orang-orang Sulsel.
Inilah pemahaman keliru yang membudaya. Akibatnya, budaya kekerasan itu berkembang di masyarakat.
Ishak mengatakan, siri na pacce itu adalah filosofi agung. Maknanya sangat dalam. Ia menyimbolisasi orang-orang Sulsel sebagai orang yang punya siri atau malu.
“Orang Sulsel itu malu kalau berbuat jahat. Malu kalau minum ballo. Malu kalau belum bisa berbuat kebaikan untuk orang banyak,” katanya.
Bagaimana meluruskan prinsip ini? Kata Ishak, harus dimulai dari keluarga. Setelah itu kekuasaan juga berperan penting. Pemimpin harus memberi teladan bagaimana memimpin dengan benar.
“Pemimpin itu keteladanan. Kalau tidak ada keteladanan, maka jangan salahkan masyarakat jadi brutal,” jelasnya.
Pengamat komunikasi publik, Aswar Hasan berpendapat, prinsip-prinsip dasar siri na pacce memang perlu diperkenalkan lebih dalam kepada anak-anak kita. Sebab, filosofi ini sudah ditafsirkan liar dan tidak bertanggung jawab.
Bahkan ada kelompok masyarakat yang masih menganggap mengonsumsi miras sebagai bagian dari simbolisasi siri na pacce. Mereka merasa tidak hebat kalau tidak minum miras.
Kebiasaan inilah yang mesti dihapus. Stigma tersebut perlu diluruskan lewat kampanye-kampanye kantibmas. Aswar mengaku salut dengan upaya Kapolda yang terus melakukan pendekatan filosofis ke masyarakat.
“Ini bentuk pendekatan polisi secara sosial yang bisa berdampak positif. Apalagi lewat pendekatan spiritual di masjid-masjid, itu akan sangat efektif menggugah masyarakat,” imbuhnya.