Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Resmob Polsek Panakkukang mengamankan pelaku pencabulan dan penyekapan terhadap gadis dibawah umur.
Resmob Polsek Panakkukang dipimpin Panit 2 Reskrim Ipda Roberth Hariyanto Siga berhasil mengamankan lima lelaki tersangka penyekapan dan pencabulan gadis 13 tahun yakni MF (19), R (17), MR (18), I (17) dab MR (19).
Kasubbag Humas Polrestabes Makassar AKP Alex Dareda mengatakan, kejadian berawal adanya laporan seorang Ibu yang anaknya hilang sehingga Resmob Polsek Panakkukang melakukan penyelidikan.
Anggota Resmob yang mengetahui identitas pelaku pun langsung mendatangi rumah diduga pelaku di Jalan Pampang Kampung Baru dan berhasil mengamankan 2 orang pelaku.
Kedua pelaku mengakui dan menunjukkan tempat korban disekap atau disembunyikan yaitu di Jalan Resing Center Makassar, anggota pun bergerak cepat dan berhasil mengamankan korban di salah satu rumah kost korban disekap yang dijagai oleh 2 orang pelaku yang sedang berada di rumah kost tersebut.
Saat korban dan pelaku hendak dibawa ke posko resmob, korban langsung menunjuk salah seorang di Jalan Urip Sumoharjo yang juga merupakan DPO Resmob Polsek Panakkukang.
Kasubbag Humas Polrestabes Makassar AKP Alex Dareda mengungkapkan, pengakuan pelaku di hadapan petugas membenarkan melakukan penculikan terhadap diri korban lalu melakukan pencabulan sebanyak 2 kali dengan cara memaksa korban berbuat hubungan intim.
Selanjutnya pelakupun membawa korban ke Jalan Resing Center di sebuah kost yang telah ditunggu oleh 2 orang teman pelaku untuk disekap.
Selanjutnya kelima orang pelaku akan diserahkan ke unit PPA Polrestabes Makassar untuk dilakukan penyidikan lebih lanjut.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan, sudah sepantasnya Indonesia ditetapkan sebagai negara darurat kejahatan seksual terhadap anak. Dasar pemikirannya, kasus terus menerus terjadi dan tingkat sebarannya pun sudah merata. Begitupun dengan predator atau pelakunya, bisa siapa saja.
“62 persen dari semua kasus pelanggaran terhadap anak itu adalah kejahatan seksual. Sebaran masalahnya bukanya hanya terjadi dilingkungan terdekat anak dan perkotaan, tapi sudah merambah hingga ke pelosok desa,” kata Arist Merdeka Sirait beberapa waktu lalu.
Dengan adanya status darurat ini, Pemerintah sudah seharusnya mengambil sikap tegas dan tindakan nyata untuk meminimalisir kasus. Salah satu caranya adalah membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) mulai dari tingkat desa sampai kota, dengan melibatkan masyarakat.
“Tim reaksi cepat ini harus diisi oleh masyarakat yang memang mengenal wilayahnya langsung, bisa beranggotakan karang taruna, rukun tetangga, rukun warga, kader posyandu, dan lainnya. Dengan begitu, upaya pendeteksian dini tindak kekerasan seksual terhadap anak akan lebih mudah,” ujarnya.
Para korban yang mengalami kekerasan seksual seperti sebuah siklus, dimana ketika dewasa korban tersebut akan berubah menjadi pelaku kekerasan seksual karena faktor dendam. Dari semua kasus kekerasan seksual, persentasenya lebih dari 60 persen.
Korban pelecehan seksual sudah seharusnya direhabilitasi, minimal dilakukan selama satu tahun. Disamping rehabilitasi, juga perlu pendampingan psikolog, minimal hingga usianya mencapai 18 tahun.
Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, pengakuan pelaku kekerasan seksual pernah menjadi korban kekerasan serupa hanya sebuah alasan.
“Jika baru dicabuli satu kali, pasti dia ketakutan dan merasakan sakit luar biasa. Makanya itu hanya alasan saja. Kecuali, jika sudah pernah berkali-kali kemungkinan besar dia ingin balas dendam,” paparnya.
Sedikitnya, terdapat tiga faktor tindak kekerasan seksual terhadap anak bisa terjadi. Pertama, pelaku menderita penyimpangan seksual (pedofilia), bahkan ada yang melakukan mutilasi. Kedua, pelaku penderita psikopat, sehingga sulit disembuhkan dan tidak akan pernah menyesali perbuatannya. Ketiga, pelaku sedang melakukan ritual ilmu hitam dengan syarat harus melakukan hubungan seks dengan anak di bawah umur.
“Dari ketiga faktor ini, masalah utama adalah lemahnya perlindungan terhadap anak baik dari orangtua, keluarga, lingkungan, dan terakhir adalah pemerintah,” Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara ini.