Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Untuk memberatas peredaran minuman keras dan meminimalisir terjadinya tindak kejahatan, Polsek Burau Polres Luwu Timur melakukan operasi Miras dengan merazia tempat yang disinyalir menjual miras (minuman keras), Kamis (20/05/2021).
Kapolsek Burau Iptu Agusman mengungkapkan bahwa kegiatan tersebut digelar sesuai dengan arahan Bapak Kapolres Luwu timur Akbp Indratmoko, S.I.K, agar Polsek jajaran melaksanakan Operasi Miras.
“Kegiatan ini dilakukan untuk mencegah atau menekan angka kriminalitas maupun gangguan kamtibmas lainnya yang disebabkan oleh miras,” ucap Iptu Agusman.
Kegiatan kali ini dipimpin oleh Kanit Reskrim Iptu Rahmadin beserta Personil Polsek Burau dengan cara melaksanakan operasi miras dengan memeriksa warung dan pertokoan diwilayah hukum Polsek Burau yang diperkirakan menjual miras.
Dalam kegiatan tersebut petugas berhasil menemukan beberapa liter miras jenis Ballo, dalam hal ini pihak Polsek Burau akan terus gencar memerangi penyakit masyarakat maupun menekan dan meminimalisir aksi kriminalitas yang dapat merusak situasi kamtibmas yang sudah kondusif.
“Dengan kegiatan tersebut diharapkan dapat mengantisipasi peredaran miras dan kamtibmas wilayah hukum Polsek Burau Polres Luwu timur tetap dalam keadaan kondusif”, ucap Iptu Agusman.
Sulsel memiliki kultur yang terbilang tempramentatif. Ada filosofi siri na pacce yang dianut masyarakat yang kerap ditafsirkan keliru. Lengkapnya, di masyarakat tradisional tumbuh kebiasaan mengonsumsi miras berupa ballo.
Ballo ini yang banyak menjadi pemicu kejahatan, terutama kekerasan. Dari fakta yang ada,di masyarakat terjadi banyak konflik karena dua hal. Pertama, karena filosofi siri na pacce yang disalahtafsirkan, dan kedua karena miras (ballo) yang dikonsumsi dianggap sebagai hal yang biasa.
“Seperti fenomena begal sekarang ini, dominan pelakunya itu dalam pengaruh miras. Ada budaya keliru di masyarakat kita yang menganggap miras itu sebagai simbol kelaki-lakian. Bukan laki-laki kalau tidak minum ballo,” ujar budayawan Ishak Ngeljaratan, dalam tulisannya tentang kultur orang-orang Sulsel.
Inilah pemahaman keliru yang membudaya. Akibatnya, budaya kekerasan itu berkembang di masyarakat.
Ishak mengatakan, siri na pacce itu adalah filosofi agung. Maknanya sangat dalam. Ia menyimbolisasi orang-orang Sulsel sebagai orang yang punya siri atau malu.
“Orang Sulsel itu malu kalau berbuat jahat. Malu kalau minum ballo. Malu kalau belum bisa berbuat kebaikan untuk orang banyak,” katanya.
Bagaimana meluruskan prinsip ini? Kata Ishak, harus dimulai dari keluarga. Setelah itu kekuasaan juga berperan penting. Pemimpin harus memberi teladan bagaimana memimpin dengan benar.
“Pemimpin itu keteladanan. Kalau tidak ada keteladanan, maka jangan salahkan masyarakat jadi brutal,” jelasnya.
Pengamat komunikasi publik, Aswar Hasan berpendapat, prinsip-prinsip dasar siri na pacce memang perlu diperkenalkan lebih dalam kepada anak-anak kita. Sebab, filosofi ini sudah ditafsirkan liar dan tidak bertanggung jawab.
Bahkan ada kelompok masyarakat yang masih menganggap mengonsumsi miras sebagai bagian dari simbolisasi siri na pacce. Mereka merasa tidak hebat kalau tidak minum miras.
Kebiasaan inilah yang mesti dihapus. Stigma tersebut perlu diluruskan lewat kampanye-kampanye kantibmas. Aswar mengaku salut dengan upaya Kapolda yang terus melakukan pendekatan filosofis ke masyarakat.
“Ini bentuk pendekatan polisi secara sosial yang bisa berdampak positif. Apalagi lewat pendekatan spiritual di masjid-masjid, itu akan sangat efektif menggugah masyarakat,” imbuhnya.