Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Polres Palopo akhirnya berhasil mengamankan sosok pemeran pria dalam video syur persetubuhan dibawah umur. Pelaku ARH (25) ditangkap di Kelurahan Malatunrung, Kecamatan Wara Timur, Kota Palopo, Jumat (2/4/2021) pagi.
Penangkapan dilakukan atas laporan orang tua korban NFA (15). Dalam video yang beredar, pelaku dan korban melakukan hubungan terlarang. “Kasus ini terungkap pasca video keduanya beredar luas, sehingga orang tua korban melapor,” kata Kasubag Humas Polres, AKP Edi Sulistiono.
Peristiwa tidak senonoh itu, terjadi sekitar bulan Januari 2021, di salah satu wisma yang berlokasi di Jl. Benteng, Kelurahan Benteng, Wara Timur. “Antara pelaku dan korban merupakan warga Kecamatan Wara Timur,” tambah Edi.
Pelaku dijerat dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak Pasal 81 Ayat 1 Pasal 76 D. “Ancamannya, maksimal 15 tahun kurungan penjara,” tutupnya.
Kasus pencabulan terhadap anak masih terus terjadi di Indonesia. Termasuk yang terjadi di wilayah hukum Polres Luwu Utara yang beberapa waktu lalu sempat beredang di media sosial.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan, sudah sepantasnya Indonesia ditetapkan sebagai negara darurat kejahatan seksual terhadap anak. Dasar pemikirannya, kasus terus menerus terjadi dan tingkat sebarannya pun sudah merata. Begitupun dengan predator atau pelakunya, bisa siapa saja.
“62 persen dari semua kasus pelanggaran terhadap anak itu adalah kejahatan seksual. Sebaran masalahnya bukanya hanya terjadi dilingkungan terdekat anak dan perkotaan, tapi sudah merambah hingga ke pelosok desa,” kata Arist Merdeka Sirait beberapa waktu lalu.
Dengan adanya status darurat ini, Pemerintah sudah seharusnya mengambil sikap tegas dan tindakan nyata untuk meminimalisir kasus. Salah satu caranya adalah membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) mulai dari tingkat desa sampai kota, dengan melibatkan masyarakat.
“Tim reaksi cepat ini harus diisi oleh masyarakat yang memang mengenal wilayahnya langsung, bisa beranggotakan karang taruna, rukun tetangga, rukun warga, kader posyandu, dan lainnya. Dengan begitu, upaya pendeteksian dini tindak kekerasan seksual terhadap anak akan lebih mudah,” ujarnya.
Para korban yang mengalami kekerasan seksual seperti sebuah siklus, dimana ketika dewasa korban tersebut akan berubah menjadi pelaku kekerasan seksual karena faktor dendam. Dari semua kasus kekerasan seksual, persentasenya lebih dari 60 persen.
Korban pelecehan seksual sudah seharusnya direhabilitasi, minimal dilakukan selama satu tahun. Disamping rehabilitasi, juga perlu pendampingan psikolog, minimal hingga usianya mencapai 18 tahun.
Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, pengakuan pelaku kekerasan seksual pernah menjadi korban kekerasan serupa hanya sebuah alasan.
“Jika baru dicabuli satu kali, pasti dia ketakutan dan merasakan sakit luar biasa. Makanya itu hanya alasan saja. Kecuali, jika sudah pernah berkali-kali kemungkinan besar dia ingin balas dendam,” paparnya.
Sedikitnya, terdapat tiga faktor tindak kekerasan seksual terhadap anak bisa terjadi. Pertama, pelaku menderita penyimpangan seksual (pedofilia), bahkan ada yang melakukan mutilasi (sadism). Kedua, pelaku penderita psikopat, sehingga sulit disembuhkan dan tidak akan pernah menyesali perbuatannya. Ketiga, pelaku sedang melakukan ritual ilmu hitam dengan syarat harus melakukan hubungan seks dengan anak di bawah umur.
“Dari ketiga faktor ini, masalah utama adalah lemahnya perlindungan terhadap anak baik dari orangtua, keluarga, lingkungan, dan terakhir adalah pemerintah,” Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara ini.