Monday, February 17, 2025

Cabuli Anak Asuhnya, Seorang Guru di Gowa Diamankan Polisi

Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Seorang pria berinisial SY (36) kini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum karena telah mencabuli seorang anak dibawah umur MI (15), yang tak lain adalah anak asuhnya sendiri.

SY, yang kesehariannya berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah di Kota Sungguminasa ini diamankan pasca menyerahkan diri sendiri ke Unit PPA Polres Gowa, Jumat (26/07) kemarin.

Hal ini pun dibenarkan langsung oleh Kasubbag Humas Polres Gowa Akp M Tambunan didampingi KBO Satreskrim Iptu Masjaya saat menggelar press conference, Sabtu (27/07) siang.

“Unit PPA Polres Gowa kini mengamankan pelaku SY pasca menyerahkan dirinya sendiri atas perbuatan cabul yang dilakukannya terhadap Lel.MI,” terang Kasubbag Humas.

Dari informasi yang dihimpun, terkuaknya kejadian ini berawal saat korban melarikan diri dari pelaku dengan cara naik ke atas atap rumah tetangga pelaku, kemudian korban yang saat itu bersembunyi lalu ditolong warga, untuk kemudian dibawa ke Polres Gowa guna mendapatkan tindaklanjut.

“Kasus ini terkuak pasca korban melarikan diri dengan cara bersembunyi di atas atap rumah tetangga pelaku, kemudian ia ditolong oleh warga, dan pada saat yang sama personil Polwan juga bertemu dengan korban dan langsung diamankan ke Polres Gowa, yang juga diperkuat dengan hasil Visum Et Repertum (VER) yang sigap dilakukan Unit PPA Polres Gowa terhadap korban,” jelas Akp M Tambunan.

Lebih lanjut, korban diketahui mulai diasuh oleh pelaku sejak tanggal 29 Januari silam, dengan tujuan untuk disekolahkan khusus paket B, namun seiring berjalannya waktu pada Bulan Februari, pelaku mulai bertindak cabul terhadap korban.

“Jadi, pelaku berdalih ingin meminta sperma korban dengan alasan mengobati kemandulan agar bisa punya anak dan dapat kembali bersama istrinya, sehingga aksi cabul itu dilakukannya kepada korban,” tambah Akp M Tambunan.

Diakui korban, ia telah 6 (enam) kali melarikan diri dari pelaku, namun pelaku selalu berhasil menemukan korban, bahkan ia sudah melaporkan ke ibunya yang saat ini tinggak di Jakarta, namun tidak dipercaya.

“Pelaku kini dijerat dengan Pasal 82 ayat (1) dan (2) Jo Pasal 76E UU no.17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu No.1 thn 2016 ttg Perubahan Kedua Atas UU No.23 Tahun 2002 ttg Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman minimal 5 Tahun dan maksimal 15 tahun serta ditambah 1/3 dari Vonis Hakim jika dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan,” tegas Akp M Tambunan.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan, sudah sepantasnya Indonesia ditetapkan sebagai negara darurat kejahatan seksual terhadap anak. Dasar pemikirannya, kasus terus menerus terjadi dan tingkat sebarannya pun sudah merata. Begitupun dengan predator atau pelakunya, bisa siapa saja.

“62 persen dari semua kasus pelanggaran terhadap anak itu adalah kejahatan seksual. Sebaran masalahnya bukanya hanya terjadi dilingkungan terdekat anak dan perkotaan, tapi sudah merambah hingga ke pelosok desa,” kata Arist Merdeka Sirait beberapa waktu lalu.

Dengan adanya status darurat ini, Pemerintah sudah seharusnya mengambil sikap tegas dan tindakan nyata untuk meminimalisir kasus. Salah satu caranya adalah membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) mulai dari tingkat desa sampai kota, dengan melibatkan masyarakat.

“Tim reaksi cepat ini harus diisi oleh masyarakat yang memang mengenal wilayahnya langsung, bisa beranggotakan karang taruna, rukun tetangga, rukun warga, kader posyandu, dan lainnya. Dengan begitu, upaya pendeteksian dini tindak kekerasan seksual terhadap anak akan lebih mudah,” ujarnya.

Para korban yang mengalami kekerasan seksual seperti sebuah siklus, dimana ketika dewasa korban tersebut akan berubah menjadi pelaku kekerasan seksual karena faktor dendam. Dari semua kasus kekerasan seksual, persentasenya lebih dari 60 persen.

Korban pelecehan seksual sudah seharusnya direhabilitasi, minimal dilakukan selama satu tahun. Disamping rehabilitasi, juga perlu pendampingan psikolog, minimal hingga usianya mencapai 18 tahun.

Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, pengakuan pelaku kekerasan seksual pernah menjadi korban kekerasan serupa hanya sebuah alasan.

“Jika baru dicabuli satu kali, pasti dia ketakutan dan merasakan sakit luar biasa. Makanya itu hanya alasan saja. Kecuali, jika sudah pernah berkali-kali kemungkinan besar dia ingin balas dendam,” paparnya.

Sedikitnya, terdapat tiga faktor tindak kekerasan seksual terhadap anak bisa terjadi. Pertama, pelaku menderita penyimpangan seksual (pedofilia), bahkan ada yang melakukan mutilasi. Kedua, pelaku penderita psikopat, sehingga sulit disembuhkan dan tidak akan pernah menyesali perbuatannya. Ketiga, pelaku sedang melakukan ritual ilmu hitam dengan syarat harus melakukan hubungan seks dengan anak di bawah umur.

“Dari ketiga faktor ini, masalah utama adalah lemahnya perlindungan terhadap anak baik dari orangtua, keluarga, lingkungan, dan terakhir adalah pemerintah,” Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara ini.

Related Posts

1 of 1,439
error: Mohon maaf tidak bisa klik kanan !! Terima Kasih