Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Team Ghost Dermaga Polres Pelabuhan Makassar dipimpin IPTU MUKHLIS berhasil mengamankan 2 (dua) Pelaku Pembuangan Mayat Bayi di Jalan Ahmad Yani No 37 Ruko PT Sadar Inti Perkasa Kota Makassar, Rabu (08/05/19) Pukul 22.00. Wita.
AY (19) menjelaskan bahwa Usia kandungan saya 8 bulan dan pada hari Sabtu (04/05/19) sekitar Pukul 11.00 wita, saya melahirkan secara Normal didalam Toilet Lantai 3 Ruko Tifany Butiq seorang bayi berjenis kelamin Laki–laki.
Selanjutnya saya menutup hidung serta menusuk perut bayi saya dengan menggunakan pisau dapur sebanyak 2 (dua) kali pada bagian perut dan kepala, setelah menusuk lalu saya memasukkan bayi tersebut kedalam plastik putih pada pukul 13.00 wita.
Kemudian saya membuang bayi tersebut kebelakang ruko dan jatuh di Lantai 2 Ruko PT Sadar Inti Perkasa.
Ditambahkan (AY) mengatakan bahwa sebelum melahirkan saya sempat meminum 2 (dua) kaleng minuman ringan merek Sprite untuk mempermudah mengugurkan bayi saya, anak tersebut merupakan hasil hubungan saya dengan (SK) dan (SK) juga pernah menyuruh untuk mengugurkan kandungan saya,” ungkap AY.
SK (24t) Mengakui bahwa pernah menyuruh (AY) untuk mengugurkan kandungannya beberapa bulan yang lalu dan mengetahui kelahiran bayi tersebut, Rabu (08/05/19).
SK (24) juga mengakui bahwa Bayi tersebut adalah anak hasil hubungannya dengan (AY)
Pada pukul 23.00 Wita kedua pelaku diamankan di Mako Polres Pelabuhan Makassar, guna proses lebih kanjut.
Pukul 23.30 Wita Team Dokpol Polda SulSel dipimpin oleh Bripka Sultan tiba di Mako Polres Pelabuhan Makassar guna melakukan Pengambilan Sampel DNA Pelaku (AY) dan (SK).
Disalin dari sindonews.com, Psikolog dari Universitas Kristen Maranatha Bandung Efnie Indriyani menilai, munculnya kasus-kasus orang tua nekat membunuh anaknya sendiri lantaran adanya patologi perilaku.
Penyimpangan perilaku ini juga tampak peran orang tua kandung pada kasus video porno anak di Bandung. Kasus ini sangat memprihatinkan karena ibu kandung bocah laki-laki tersebut menyaksikan saat pembuatan video porno tersebut.
Patologi dan gangguan fungsi mental itu, kata Efnie, terjadi akibat individu telah kehilangan akal sehat. Ini bisa terjadi karena pelaku mengalami stres berat berkepanjangan, menahun, dan tak terselesaikan.
Akumulasi masalah menumpuk, sementara secara ketahanan mental, seseorang tak mampu menanggulanginya.
Umumnya, ujar Efnie, tindakan ekstrem muncul karena fungsi otak depan terhambat. Yang aktif justru amigdala di limbic system otak.
Amigdala itu bersifat membajak logika, sehingga pelaku memberikan respons emosi sangat dahsyat dan spontan. Saat amigdala mengambil peran, orang seperti gelap mata dan tak mampu berpikir rasional.
Pembajakan amigdala terhadap fungsi otak depan atau logika terjadi dalam hitungan detik. Emosi negatif yang tersimpan di amigdala sudah begitu berat, memicu seseorang untuk melakukan tindakan tak rasional.
Otak depan berfungsi sebagai pertimbangan rasional dan logika manusia, analisa berpikir yang baik, saat itu sama sekali tidak berfungsi. Sehingga, pada suatu titik, pelaku mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan persoalannya.
Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Bagong Suyanto menuturkan, maraknya aksi kekerasan yang dilakukan para orang tua selalu memposisikan anaknya sebagai korban. Kondisi ini tak lepas dari belum siapnya mereka memiliki momongan dan menghadapi kenyataan hidup.
“Faktor kemiskinan tetap paling dominan menjadi penyebab semua ini. Makanya banyak korban itu berasal dari keluarga menengah ke bawah,” ujar Bagong.
Psikis orang tua yang melakukan kekerasan pada anaknya pun selalu berada pada tekanan. Ada seorang ibu yang mengalami masalah dengan suaminya, dalam situasi ini pelampiasan yang dilakukan mengarah pada anaknya. Demikian juga dengan problem lainnya, kehadiran anak kerap dianggap sebagai biang masalah.
Selain itu, katanya, kebiasaan buruk dari orang tua yang sejak muda menjadi rutinitas kerap memicu terjadinya kekerasan. Kebiasaan seperti minum-minuman keras, kecanduan obat sampai berjudi yang masih dilakukan setelah mereka berumah tangga.
Kondisi ini tentu menimbulkan gejolak pada keluarganya. “Mereka (pelaku) belum siap untuk menjadi orang tua. Bahkan banyak juga anak-anak yang jadi korban itu memang lahir tidak dikehendaki orang tuanya,” ucapnya.
Bagong melihat kondisi ini masih berpotensi terjadi di berbagai kota besar yang ada di Indonesia. Pembinaan keluarga yang sehat serta kesiapan individu dalam membina rumah tangga menjadi kunci untuk menghindari kejadian kekerasan itu terulang.
Kasus-kasus ini butuh pendampingan yang panjang. Komunikasi dengan keluarga pun menjadi penting, sehingga jika ada masalah bisa dibicarakan dengan baik.