Monday, February 17, 2025

Mengaku Polisi, Seorang Pemuda di Toraja Cabuli Anak Dibawah Umur

Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Timsus Polsek Rantepao berhasil meringkus seorang polisi gadungan yang melakukan perbuatan asusila kepada anak dibawah umur, Minggu (08/09/19). Penangkapan berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LPB/34/IX/2019/Sek. Rantepao.

Peristiwa tersebut bermula pada hari Senin, (02/09) pelaku berinisial JP (25) mendatangi rumah kontrakan korban bernama Mawar (samaran) berusia 15 tahun, disana JP mengaku sebagai seorang Polisi yang sedang melakukan penggerebekan.

Pelaku kemudian menakuti korban dengan mengatakan bahwa korban adalah pelaku penyalahgunaan narkoba, korban pun bawa ke salah satu wisma di Toraja kemudian disetubuhi.

Tidak menunggu lama, Timsus Polsek Rantepao yang dipimpin oleh Bripka Leo Timang berhasil meringkus pelaku lalu dibawa ke Polsek Rantepao untuk dimintai keterangan lebih lanjut.

Dari hasil penyelidikan, pelaku yang tercatat sebagai warga Kel. Ba’tan, Kec. Kesu’, Kab. Toraja Utara. Pelaku terbukti bukan seorang anggota Polri melainkan masyarakat yang bekerja sebagai supir truk.

Dengan adanya kejadian ini Kapolsek Rantepao Kompol Marthen Buttu menghimbau kepada Para orang tua untuk menjaga serta mengawasi anak-anaknya, agar tidak terjerumus ke hal-hal seperti ini.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan, sudah sepantasnya Indonesia ditetapkan sebagai negara darurat kejahatan seksual terhadap anak. Dasar pemikirannya, kasus terus menerus terjadi dan tingkat sebarannya pun sudah merata. Begitupun dengan predator atau pelakunya, bisa siapa saja.

“62 persen dari semua kasus pelanggaran terhadap anak itu adalah kejahatan seksual. Sebaran masalahnya bukanya hanya terjadi dilingkungan terdekat anak dan perkotaan, tapi sudah merambah hingga ke pelosok desa,” kata Arist Merdeka Sirait beberapa waktu lalu.

Dengan adanya status darurat ini, Pemerintah sudah seharusnya mengambil sikap tegas dan tindakan nyata untuk meminimalisir kasus. Salah satu caranya adalah membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) mulai dari tingkat desa sampai kota, dengan melibatkan masyarakat.

“Tim reaksi cepat ini harus diisi oleh masyarakat yang memang mengenal wilayahnya langsung, bisa beranggotakan karang taruna, rukun tetangga, rukun warga, kader posyandu, dan lainnya. Dengan begitu, upaya pendeteksian dini tindak kekerasan seksual terhadap anak akan lebih mudah,” ujarnya.

Para korban yang mengalami kekerasan seksual seperti sebuah siklus, dimana ketika dewasa korban tersebut akan berubah menjadi pelaku kekerasan seksual karena faktor dendam. Dari semua kasus kekerasan seksual, persentasenya lebih dari 60 persen.

Korban pelecehan seksual sudah seharusnya direhabilitasi, minimal dilakukan selama satu tahun. Disamping rehabilitasi, juga perlu pendampingan psikolog, minimal hingga usianya mencapai 18 tahun.

Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, pengakuan pelaku kekerasan seksual pernah menjadi korban kekerasan serupa hanya sebuah alasan.

“Jika baru dicabuli satu kali, pasti dia ketakutan dan merasakan sakit luar biasa. Makanya itu hanya alasan saja. Kecuali, jika sudah pernah berkali-kali kemungkinan besar dia ingin balas dendam,” paparnya.

Sedikitnya, terdapat tiga faktor tindak kekerasan seksual terhadap anak bisa terjadi. Pertama, pelaku menderita penyimpangan seksual (pedofilia), bahkan ada yang melakukan mutilasi. Kedua, pelaku penderita psikopat, sehingga sulit disembuhkan dan tidak akan pernah menyesali perbuatannya. Ketiga, pelaku sedang melakukan ritual ilmu hitam dengan syarat harus melakukan hubungan seks dengan anak di bawah umur.

“Dari ketiga faktor ini, masalah utama adalah lemahnya perlindungan terhadap anak baik dari orangtua, keluarga, lingkungan, dan terakhir adalah pemerintah,” Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara ini.

Related Posts

1 of 1,350
error: Mohon maaf tidak bisa klik kanan !! Terima Kasih