Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Polres Enrekang akhirnya menetapkan MA (18) sebagai tersangka kasus pencabulan anak dibawah umur dengan korban HL (15) yang tidak lain tetangga rumah.
Hal tersebut diungkap Kapolres Enrekang AKBP Dr. Andi Sinjaya saat menggelar rilis di ruang tengah Mapolres Enrekang, Kamis (04/03/21). Kapolres didampingi Kasat Reskrim Polres Enrekang AKP Saharuddin.
Kapolres Enrekang AKBP Andi Sinjaya mengatakan Tersangka MA(18) dengan Korban HL(15) merupakan tetangga yang tinggal di salah satu Kecamatan yang berada di Kabupaten Enrekang
Kejadian tersebut terungkap setelah korban melaporkan kepada orang tuanya berselang satu bulan pasca kejadian, dimana pada saat melakukan perbuatan pencabulan tersangka menggunakan paksaan serta ancaman kepada korban
Adapun Kornologi kejadiannya, diketahui pada hari Kamis tanggal 25 Februari 2021 anggota Polres Enrekang melakukan penangkapan disalah satu kecamatan di Kabupaten Enrekang setelah melakukan serangkaian penyelidikan dan penyidikan terkait dengan pelaporan keluarga HL.
Perbuatan cabul tehadap anak tersebut terjadi dikamar korban, dimana pada saat itu ia sementara mandi lalu pelaku datang mengetuk pintu dapur, setelah mandi pelaku pun masuk kedalam rumah dengan alasan untuk meminjam charger Hp, korban kemudian menunjukkan ada di kamar.
Selanjutnya pelaku masuk kedalam kamar korban dan mengecas HPnya, tidak lama kemudian korban masuk kedalam kamarnya lalu pelaku menyuruh korban untuk baring ditempat tidur selanjutnya pelaku melakukan perbuatan cabul terhadap korban.
Sekitar dua minggu setelah kejadian pertama, pelaku kembali datang kerumah korban lalu masuk dengan cara merusak jendela rumah, selanjutnya pelaku masuk kekamar korban lalu kembali melakukan perbuatan cabul terhadap korban.
Saat itu bapak korban sempat terbangun dari tidurnya karena merasakan rumahnya bergoyang kemudian mendatangi kamar korban dan mendapati pelaku berada didalam dikamar.
Saat itu pelaku langsung berkata kepada korban “Sudah kau kerja itu”, sehingga bapak korban berfikir bahwa pelaku meminta tolong korban untuk mengerjakan sesuatu, hingga bapak korban tidak manaruh kecurigaan kepada pelaku.
“Dari hasil pengakuan pelaku mengakui semua perbuatannya yang telah dilakukan terhadap korban,”uUjar Kapolres Enrekang.
“Barang bukti yang ada yaitu VER (Visum Et Repertum) korban dan pakaian yang dipakai korban,” tambahnya.
Kepada tersangka akan dijerat dengan pasal 82 ayat 1 undang undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak Jo undang-undang nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintahpengganti Undang-undang nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menjadi undang-undang Jo pasal 65 ayat 1 KUHP.
Kasus kekerasan seksual (pencabulan) terhadap anak masih terus terjadi di Indonesia. Termasuk juga seperti yang terjadi di wilayah hukum Polres Pinrang.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan, sudah sepantasnya Indonesia ditetapkan sebagai negara darurat kejahatan seksual terhadap anak. Dasar pemikirannya, kasus terus menerus terjadi dan tingkat sebarannya pun sudah merata. Begitupun dengan predator atau pelakunya, bisa siapa saja.
“62 persen dari semua kasus pelanggaran terhadap anak itu adalah kejahatan seksual. Sebaran masalahnya bukanya hanya terjadi dilingkungan terdekat anak dan perkotaan, tapi sudah merambah hingga ke pelosok desa,” kata Arist Merdeka Sirait beberapa waktu lalu.
Dengan adanya status darurat ini, Pemerintah sudah seharusnya mengambil sikap tegas dan tindakan nyata untuk meminimalisir kasus. Salah satu caranya adalah membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) mulai dari tingkat desa sampai kota, dengan melibatkan masyarakat.
“Tim reaksi cepat ini harus diisi oleh masyarakat yang memang mengenal wilayahnya langsung, bisa beranggotakan karang taruna, rukun tetangga, rukun warga, kader posyandu, dan lainnya. Dengan begitu, upaya pendeteksian dini tindak kekerasan seksual terhadap anak akan lebih mudah,” ujarnya.
Para korban yang mengalami kekerasan seksual seperti sebuah siklus, dimana ketika dewasa korban tersebut akan berubah menjadi pelaku kekerasan seksual karena faktor dendam. Dari semua kasus kekerasan seksual, persentasenya lebih dari 60 persen.
Korban pelecehan seksual sudah seharusnya direhabilitasi, minimal dilakukan selama satu tahun. Disamping rehabilitasi, juga perlu pendampingan psikolog, minimal hingga usianya mencapai 18 tahun.
Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, pengakuan pelaku kekerasan seksual pernah menjadi korban kekerasan serupa hanya sebuah alasan.
“Jika baru dicabuli satu kali, pasti dia ketakutan dan merasakan sakit luar biasa. Makanya itu hanya alasan saja. Kecuali, jika sudah pernah berkali-kali kemungkinan besar dia ingin balas dendam,” paparnya.
Sedikitnya, terdapat tiga faktor tindak kekerasan seksual terhadap anak bisa terjadi. Pertama, pelaku menderita penyimpangan seksual (pedofilia), bahkan ada yang melakukan mutilasi (sadism). Kedua, pelaku penderita psikopat, sehingga sulit disembuhkan dan tidak akan pernah menyesali perbuatannya. Ketiga, pelaku sedang melakukan ritual ilmu hitam dengan syarat harus melakukan hubungan seks dengan anak di bawah umur.
“Dari ketiga faktor ini, masalah utama adalah lemahnya perlindungan terhadap anak baik dari orangtua, keluarga, lingkungan, dan terakhir adalah pemerintah,” Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara ini.