Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Personil Polsek Bajeng Polres Gowa melaksanakan Operasi Cipta Kondisi dengan sasaran minuman keras (Miras) yang dipimpin oleh Kanit Sabhara Polsek Bajeng Polres Gowa, Ipda Kamal Rajab bersama 5 orang personil, Kamis (17/10/19). Operasi ini menyasar penjual miras rumahan.
Puluhan Liter Ballo disita dari 2 orang dari tempat berbeda, di Lingkungan Jatia Kelurahan Mataallo Kec. Bajeng, Personil Polsek Bajeng menyita 4 (empat) jerigen yang berisikan miras jenis ballo dimana 1(satu) jerigen berisi 5 (lima) liter dan 1 ember berisi 10 (sepuluh) liter miras jenis ballo, milik Mansyur Dg Suang (45) yang berprofesi sebagai petani.
Selanjutnya personil Polsek Bajeng menyita 2 (dua) jerigen yang berisikan miras jenis ballo dimana 1(satu) jerigen berisi 5 (lima) liter dan 3(tiga) ember dimana 1(satu) ember berisikan 10(sepuluh) liter niras jenis ballo, milik Marzuki Dg Ngalle (56) yang berprofesi sebagai Pensiunan PNS.
Keseluruhan barang bukti Miras jenis ballo dan pemiliknya diamankan di Kantor Polsek Bajeng untuk di mintai keterangan lebih lanjut.
Kanit Sabhara Ipda Kamal Rajab saat di konfirmasi mengungkapkan,” Kami akan terus menertibkan dan melarang peredaran minuman keras baik yang bermerek maupun yang Tradisional, selain dapat merusak kesehatan dan dilarang Agama, miras juga merupakan sumber awal kejahatan,” ungkap Kanit Sabhara.
Ditempat terpisah Kapolsek Bajeng Ipda Hasan Fadhlyh, SH, mengatakan,“kegiatan ini akan tetap rutin kita laksanakan untuk terciptanya situasi kantibmas yang kondusif, sebagai mana kita ketahui bahwa timbulnya akar permasalahan di masyarakat cenderung karena pengaruh minuman keras yang di konsumsi secara berlebihan, sehingga mudah dan sensitif terjadinya tindak pidana penganiayaan bahkan berujung kematian,” kata Kapolsek.
Sulsel memiliki kultur yang terbilang tempramentatif. Ada filosofi siri na pacce yang dianut masyarakat yang kerap ditafsirkan keliru. Lengkapnya, di masyarakat tradisional tumbuh kebiasaan mengonsumsi miras berupa ballo.
Ballo ini yang banyak menjadi pemicu kejahatan, terutama kekerasan. Dari fakta yang ada,di masyarakat terjadi banyak konflik karena dua hal. Pertama, karena filosofi siri na pacce yang disalahtafsirkan, dan kedua karena miras (ballo) yang dikonsumsi dianggap sebagai hal yang biasa.
“Seperti fenomena begal sekarang ini, dominan pelakunya itu dalam pengaruh miras. Ada budaya keliru di masyarakat kita yang menganggap miras itu sebagai simbol kelaki-lakian. Bukan laki-laki kalau tidak minum ballo,” ujar budayawan Ishak Ngeljaratan, dalam tulisannya tentang kultur orang-orang Sulsel.
Inilah pemahaman keliru yang membudaya. Akibatnya, budaya kekerasan itu berkembang di masyarakat.
Ishak mengatakan, siri na pacce itu adalah filosofi agung. Maknanya sangat dalam. Ia menyimbolisasi orang-orang Sulsel sebagai orang yang punya siri atau malu.
“Orang Sulsel itu malu kalau berbuat jahat. Malu kalau minum ballo. Malu kalau belum bisa berbuat kebaikan untuk orang banyak,” katanya.
Bagaimana meluruskan prinsip ini? Kata Ishak, harus dimulai dari keluarga. Setelah itu kekuasaan juga berperan penting. Pemimpin harus memberi teladan bagaimana memimpin dengan benar.
“Pemimpin itu keteladanan. Kalau tidak ada keteladanan, maka jangan salahkan masyarakat jadi brutal,” jelasnya.
Pengamat komunikasi publik, Aswar Hasan berpendapat, prinsip-prinsip dasar siri na pacce memang perlu diperkenalkan lebih dalam kepada anak-anak kita. Sebab, filosofi ini sudah ditafsirkan liar dan tidak bertanggung jawab.
Bahkan ada kelompok masyarakat yang masih menganggap mengonsumsi miras sebagai bagian dari simbolisasi siri na pacce. Mereka merasa tidak hebat kalau tidak minum miras.
Kebiasaan inilah yang mesti dihapus. Stigma tersebut perlu diluruskan lewat kampanye-kampanye kantibmas. Aswar mengaku salut dengan upaya Kapolda yang terus melakukan pendekatan filosofis ke masyarakat.
“Ini bentuk pendekatan polisi secara sosial yang bisa berdampak positif. Apalagi lewat pendekatan spiritual di masjid-masjid, itu akan sangat efektif menggugah masyarakat,” imbuhnya.