Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Satuan Sabhara Polres Bulukumba membubarkan sekelompok pemuda yang sedang asyik pesta minuman keras (miras) di jembatan pasar tua Jalan A.Sultan Dg. Radja Kecamatan Ujung Bulu, Senin (12/04/2021) dini hari.
Kasat Sabhara Polres Bulukumba AKP Muh.Tawil S.Sos., mengatakan, para pemuda tersebut dibubarkan Polisi, ketika Sabhara Polres Bulukumba sedang melakukan patroli rutin.
Pasalnya, para pemuda ini kedapatan tengah meneguk minuman Tradisional (ballo) yang dinilai sangat meresahkan warga sekitar.
AKP Muh.Tawil S.Sos., menjelaskan salah satu faktor pemicu tindak kriminal adalah mengkonsumsi miras. “Jadi mabuk-mabukan, menenggak minuman berakohol di muka umum bisa menjadi pemicu tindak kejahatan,” ujarnya.
Tak lupa juga untuk memberikan himbauan kepada para pemuda tersebut agar patuhi protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19, seperti penggunaan masker saat beraktifitas diluar rumah, sehingga dapat meminimalisir serta mencegah penyebaran Virus Corona ditengah masyarakat.
Sulsel memiliki kultur yang terbilang tempramentatif. Ada filosofi siri na pacce yang dianut masyarakat yang kerap ditafsirkan keliru. Lengkapnya, di masyarakat tradisional tumbuh kebiasaan mengonsumsi miras berupa ballo.
Ballo ini yang banyak menjadi pemicu kejahatan, terutama kekerasan. Dari fakta yang ada,di masyarakat terjadi banyak konflik karena dua hal. Pertama, karena filosofi siri na pacce yang disalahtafsirkan, dan kedua karena miras (ballo) yang dikonsumsi dianggap sebagai hal yang biasa.
“Seperti fenomena begal sekarang ini, dominan pelakunya itu dalam pengaruh miras. Ada budaya keliru di masyarakat kita yang menganggap miras itu sebagai simbol kelaki-lakian. Bukan laki-laki kalau tidak minum ballo,” ujar budayawan Ishak Ngeljaratan, dalam tulisannya tentang kultur orang-orang Sulsel.
Inilah pemahaman keliru yang membudaya. Akibatnya, budaya kekerasan itu berkembang di masyarakat.
Ishak mengatakan, siri na pacce itu adalah filosofi agung. Maknanya sangat dalam. Ia menyimbolisasi orang-orang Sulsel sebagai orang yang punya siri atau malu.
“Orang Sulsel itu malu kalau berbuat jahat. Malu kalau minum ballo. Malu kalau belum bisa berbuat kebaikan untuk orang banyak,” katanya.
Bagaimana meluruskan prinsip ini? Kata Ishak, harus dimulai dari keluarga. Setelah itu kekuasaan juga berperan penting. Pemimpin harus memberi teladan bagaimana memimpin dengan benar.
“Pemimpin itu keteladanan. Kalau tidak ada keteladanan, maka jangan salahkan masyarakat jadi brutal,” jelasnya.
Pengamat komunikasi publik, Aswar Hasan berpendapat, prinsip-prinsip dasar siri na pacce memang perlu diperkenalkan lebih dalam kepada anak-anak kita. Sebab, filosofi ini sudah ditafsirkan liar dan tidak bertanggung jawab.
Bahkan ada kelompok masyarakat yang masih menganggap mengonsumsi miras sebagai bagian dari simbolisasi siri na pacce. Mereka merasa tidak hebat kalau tidak minum miras.
Kebiasaan inilah yang mesti dihapus. Stigma tersebut perlu diluruskan lewat kampanye-kampanye kantibmas. Aswar mengaku salut dengan upaya Kapolda yang terus melakukan pendekatan filosofis ke masyarakat.
“Ini bentuk pendekatan polisi secara sosial yang bisa berdampak positif. Apalagi lewat pendekatan spiritual di masjid-masjid, itu akan sangat efektif menggugah masyarakat,” imbuhnya.