Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Polsek Bone-Bone Polres Luwu Utara berhasil meringkus pelaku Persetubuhan anak di Desa Sadar, Kec. Bone-Bone, Kab. Luwu Utara Korban merupakan anak perempuan berusia empat belas tahun.
Kapolsek Bone bone Polres Luwu Utara Kompol Agus Mappi menyampaikan, pelaku sudah di amankan. Peristiwa Persetubuhan anak di bawah umur terjadi pada bulan Juli 2018. Pelaku ditangkap pada hari jumat malam tanggal 04 Januari 2019, karena Kejadian tersebut baru di ketahui Keluarga Korban dan langsung Melaporkannya Ke Polsek Bone-Bone.
“Saat Keluarga Korban melaporkan Kejadian tersebur, Kami dari Pihak kepolisian langsung bergerak melakukan penangkapan Terhadap Pelaku,” tutur Kompol Agus saat dikonfirmasi, Selasa (08/01/19).
Menurut Kapolsek Bone bone, pelaku berinisial TW Pria berusia 50 tahun dan korban sebut saja bunga berusia 14 tahun.
Singkatnya, kronologisnya berawal dari korban yang sedang menggembala sapi Milik orang tuanya di Kebun sawit milik Lel. TW, kemudian korban bertemu dengan pelaku yang pada saat itu sedang memetik buah sawit, pelaku menarik tangan korban dan memaksa korban melakukan hubungan badan, kemudian perbuatan tersebut dilakukan kembali oleh pelaku terhadap korban sebanyak 3 kali ditempat yang sama dan kejadian tersebut terungkap setelah keluarga korban curiga atas perubahan di tubuh korban yang diduga telah hamil. Selanjutnya korban mengaku bahwa pelaku yang menyetubuhinya adalah TW.
Lebih lanjut Agus menjelaskan, bahwa pelaku yang diketahui memilik 3 orang anak dan 1 isitri ini mengaku, bahwa perbuatan asusila itu dilakukannya akibat hawa nafsu yang tidak bisa ia tahan sehingga dilampiaskan ke korban.
Akibat perbuatannya, pelaku yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan undang Undang perlindungan Anak No 35 tahun 2014 tentang perubahan UU No. 23 Tahun 2002 Pasal 81 Ayat (1) Jo 76C tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun minimal 5 tahun penjara.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan, sudah sepantasnya Indonesia ditetapkan sebagai negara darurat kejahatan seksual terhadap anak. Dasar pemikirannya, kasus terus menerus terjadi dan tingkat sebarannya pun sudah merata. Begitupun dengan predator atau pelakunya, bisa siapa saja.
“62 persen dari semua kasus pelanggaran terhadap anak itu adalah kejahatan seksual. Sebaran masalahnya bukanya hanya terjadi dilingkungan terdekat anak dan perkotaan, tapi sudah merambah hingga ke pelosok desa,” kata Arist Merdeka Sirait beberapa waktu lalu.
Dengan adanya status darurat ini, Pemerintah sudah seharusnya mengambil sikap tegas dan tindakan nyata untuk meminimalisir kasus. Salah satu caranya adalah membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) mulai dari tingkat desa sampai kota, dengan melibatkan masyarakat.
“Tim reaksi cepat ini harus diisi oleh masyarakat yang memang mengenal wilayahnya langsung, bisa beranggotakan karang taruna, rukun tetangga, rukun warga, kader posyandu, dan lainnya. Dengan begitu, upaya pendeteksian dini tindak kekerasan seksual terhadap anak akan lebih mudah,” ujarnya.
Para korban yang mengalami kekerasan seksual seperti sebuah siklus, dimana ketika dewasa korban tersebut akan berubah menjadi pelaku kekerasan seksual karena faktor dendam. Dari semua kasus kekerasan seksual, persentasenya lebih dari 60 persen.
Korban pelecehan seksual sudah seharusnya direhabilitasi, minimal dilakukan selama satu tahun. Disamping rehabilitasi, juga perlu pendampingan psikolog, minimal hingga usianya mencapai 18 tahun.
Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, pengakuan pelaku kekerasan seksual pernah menjadi korban kekerasan serupa hanya sebuah alasan.
“Jika baru dicabuli satu kali, pasti dia ketakutan dan merasakan sakit luar biasa. Makanya itu hanya alasan saja. Kecuali, jika sudah pernah berkali-kali kemungkinan besar dia ingin balas dendam,” paparnya.
Sedikitnya, terdapat tiga faktor tindak kekerasan seksual terhadap anak bisa terjadi. Pertama, pelaku menderita penyimpangan seksual (pedofilia), bahkan ada yang melakukan mutilasi. Kedua, pelaku penderita psikopat, sehingga sulit disembuhkan dan tidak akan pernah menyesali perbuatannya. Ketiga, pelaku sedang melakukan ritual ilmu hitam dengan syarat harus melakukan hubungan seks dengan anak di bawah umur.
“Dari ketiga faktor ini, masalah utama adalah lemahnya perlindungan terhadap anak baik dari orangtua, keluarga, lingkungan, dan terakhir adalah pemerintah,” Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara ini.
Penulis : Marwan