Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Seorang warga Dusun Padang Lambe, Desa Sumabu, Kecamatan Bajo, Kabupaten Luwu yang tercatat sebagai pelajar disalah satu SMK di Luwu berinisial RE (18) diamankan Satuan Reskrim Polres Luwu yang dipimpin Bripka Zulkadri, Minggu (29/12/19).
Sebelumnya, RE dilaporkan oleh pihak keluarga korban ER (15) warga Dusun Balo-Balo, Desa Sumabu, Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu di Mapolres Luwu pada tanggal 29 Desember 2019 atas dugaan telah menyetubuhi korban ER.
Dari keterangan pelaku, peristiwa tersebut terjadi pada hari Sabtu tanggal 28 Desember 2019, ketika itu terduga pelaku RE mengajak korban ER untuk nonton pasar malam di Belopa, di tengah perjalanan, RE mengajak ER kedalam kebun dan menyetubuhinya.
Dari peristiwa tersebut kemudian diketahui oleh pihak keluarga ER yang merasa keberatan lalu dilaporkanlah RE ini ke Polres Luwu.
Kapolres Luwu AKBP Dwi Santoso melalui Kasat Reskrim AKP Faisal Syam terpisah saat dikonfirmasi menuturkan bahwa benar pihaknya telah mengamankan RE atas dugaan telah menyetubuhi anak di bawah umur, “Saat ini sedang diperiksa penyidik,” ucapnya.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan, sudah sepantasnya Indonesia ditetapkan sebagai negara darurat kejahatan seksual terhadap anak. Dasar pemikirannya, kasus terus menerus terjadi dan tingkat sebarannya pun sudah merata. Begitupun dengan predator atau pelakunya, bisa siapa saja.
“62 persen dari semua kasus pelanggaran terhadap anak itu adalah kejahatan seksual. Sebaran masalahnya bukanya hanya terjadi dilingkungan terdekat anak dan perkotaan, tapi sudah merambah hingga ke pelosok desa,” kata Arist Merdeka Sirait beberapa waktu lalu.
Dengan adanya status darurat ini, Pemerintah sudah seharusnya mengambil sikap tegas dan tindakan nyata untuk meminimalisir kasus. Salah satu caranya adalah membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) mulai dari tingkat desa sampai kota, dengan melibatkan masyarakat.
“Tim reaksi cepat ini harus diisi oleh masyarakat yang memang mengenal wilayahnya langsung, bisa beranggotakan karang taruna, rukun tetangga, rukun warga, kader posyandu, dan lainnya. Dengan begitu, upaya pendeteksian dini tindak kekerasan seksual terhadap anak akan lebih mudah,” ujarnya.
Para korban yang mengalami kekerasan seksual seperti sebuah siklus, dimana ketika dewasa korban tersebut akan berubah menjadi pelaku kekerasan seksual karena faktor dendam. Dari semua kasus kekerasan seksual, persentasenya lebih dari 60 persen.
Korban pelecehan seksual sudah seharusnya direhabilitasi, minimal dilakukan selama satu tahun. Disamping rehabilitasi, juga perlu pendampingan psikolog, minimal hingga usianya mencapai 18 tahun.
Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, pengakuan pelaku kekerasan seksual pernah menjadi korban kekerasan serupa hanya sebuah alasan.
“Jika baru dicabuli satu kali, pasti dia ketakutan dan merasakan sakit luar biasa. Makanya itu hanya alasan saja. Kecuali, jika sudah pernah berkali-kali kemungkinan besar dia ingin balas dendam,” paparnya.
Sedikitnya, terdapat tiga faktor tindak kekerasan seksual terhadap anak bisa terjadi. Pertama, pelaku menderita penyimpangan seksual (pedofilia), bahkan ada yang melakukan mutilasi. Kedua, pelaku penderita psikopat, sehingga sulit disembuhkan dan tidak akan pernah menyesali perbuatannya. Ketiga, pelaku sedang melakukan ritual ilmu hitam dengan syarat harus melakukan hubungan seks dengan anak di bawah umur.
“Dari ketiga faktor ini, masalah utama adalah lemahnya perlindungan terhadap anak baik dari orangtua, keluarga, lingkungan, dan terakhir adalah pemerintah,” Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara ini.