Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Satuan Reskrim Polres Pinrang dipimpin Kanit PPA Aipda Syarifuddin berhasil mengungkap dan menangkap seorang petani berinisial L (71) di kediamanya tanpa perlawanan, Senin (01/03/2021). Ia merupakan pelaku pencabulan terhadap anak tirinya sendiri.
Dihadapan petugas, petani tersebut mengakui perbuatannya. Malam itu tahun 2020. Pelaku tak ingat tanggalnya. Namun sekira pukul 22.00 Wita. Pelaku sedang tidur bersama istrinya, J dan korban R (15) di rumahnya Watang Sawitto, Kabupaten Pinrang.
Mereka tidur dalam satu kamar. Tiba-tiba pelaku bangun. Dia melihat istrinya tertidur pulas. Didekatnya, R juga tampak lelap. Melihat daster anak tirinya tersingkap, nafsu birahi pelaku pun muncul.
Dia kemudian berusaha menyetubuhi korban. Saat melakukan aksinya, korban yang kesakitan terbangun. “Jangan pak, sakit,” ringis korban.
Pelaku pun menghentikan aksinya, takut istrinya terbangun. Keesokan paginya, pelaku mendekati korban. “Awas jangan beritahu ibumu, kalau ibumu tahu saya tidak akan kasi lagi uang,” ancamnya.
Kasat Reskrim Polres Pinrang, Iptu Deki Marizaldy yang dikonfirmasi membenarkan kejadian tersebut.
“Namun, beberapa bulan, korban tak tahan menyimpan rahasia itu. Akhirnya, di akhirFebruari lalu, dia menceritakan ke ibunya. Lalu, ibu korban melapor ke Polres Pinrang,” ungkapnya Iptu Deki.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan, sudah sepantasnya Indonesia ditetapkan sebagai negara darurat kejahatan seksual terhadap anak. Dasar pemikirannya, kasus terus menerus terjadi dan tingkat sebarannya pun sudah merata. Begitupun dengan predator atau pelakunya, bisa siapa saja.
“62 persen dari semua kasus pelanggaran terhadap anak itu adalah kejahatan seksual. Sebaran masalahnya bukanya hanya terjadi dilingkungan terdekat anak dan perkotaan, tapi sudah merambah hingga ke pelosok desa,” kata Arist Merdeka Sirait beberapa waktu lalu.
Dengan adanya status darurat ini, Pemerintah sudah seharusnya mengambil sikap tegas dan tindakan nyata untuk meminimalisir kasus. Salah satu caranya adalah membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) mulai dari tingkat desa sampai kota, dengan melibatkan masyarakat.
“Tim reaksi cepat ini harus diisi oleh masyarakat yang memang mengenal wilayahnya langsung, bisa beranggotakan karang taruna, rukun tetangga, rukun warga, kader posyandu, dan lainnya. Dengan begitu, upaya pendeteksian dini tindak kekerasan seksual terhadap anak akan lebih mudah,” ujarnya.
Para korban yang mengalami kekerasan seksual seperti sebuah siklus, dimana ketika dewasa korban tersebut akan berubah menjadi pelaku kekerasan seksual karena faktor dendam. Dari semua kasus kekerasan seksual, persentasenya lebih dari 60 persen.
Korban pelecehan seksual sudah seharusnya direhabilitasi, minimal dilakukan selama satu tahun. Disamping rehabilitasi, juga perlu pendampingan psikolog, minimal hingga usianya mencapai 18 tahun.
Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, pengakuan pelaku kekerasan seksual pernah menjadi korban kekerasan serupa hanya sebuah alasan.
“Jika baru dicabuli satu kali, pasti dia ketakutan dan merasakan sakit luar biasa. Makanya itu hanya alasan saja. Kecuali, jika sudah pernah berkali-kali kemungkinan besar dia ingin balas dendam,” paparnya.
Sedikitnya, terdapat tiga faktor tindak kekerasan seksual terhadap anak bisa terjadi. Pertama, pelaku menderita penyimpangan seksual (pedofilia), bahkan ada yang melakukan mutilasi. Kedua, pelaku penderita psikopat, sehingga sulit disembuhkan dan tidak akan pernah menyesali perbuatannya. Ketiga, pelaku sedang melakukan ritual ilmu hitam dengan syarat harus melakukan hubungan seks dengan anak di bawah umur.
“Dari ketiga faktor ini, masalah utama adalah lemahnya perlindungan terhadap anak baik dari orangtua, keluarga, lingkungan, dan terakhir adalah pemerintah,” Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara ini.