Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Kapolda Sulsel Irjen Pol Drs Umar Septono menerima Audience Pimpinan Wilayah BRI Makassar yang bertempat di Ruang Tamu Pimpinan Lt II Mapolda Sulsel, Selasa (23/10) Pada pukul 07.30 wita. Irjen Umar di dampingi oleh Dir Pam Obvit Polda Sulsel beserta Kabid Keu Polda Sulsel.
Pimpinan BRI Agus Supriyanto datang ke Mapolda untuk bersilaturahmi sekaligus berkordinasi terkait masalah kejahatan perbankan.
Menanggapi hal tersebut Kapolda Sulsel menyambut baik kedatangan rombongan dan akan memaksimalkan kordinasi dengan pihak Bank BRI dalam penanganan kejahatan perbankan.
Dilansir dari id.beritasatu.com, ancaman kejahatan perbankan cenderung terus meningkat dan fakta perkembangan teknologi perbankan secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap modus dan tren dari kejahatan perbankan itu sendiri. Oleh karena itu, setiap kasus kejahatan perbankan yang terjadi harus dituntaskan penanganannya.
Relevan dengan hal itu maka kasus raibnya dana nasabah di salah satu bank persero yang ramai dibicarakan publik akhir-akhir ini menjadi penting untuk dituntaskan penanganannya agar tidak memicu sentimen negatif terhadap perbankan.
Jika dicermati, berbagai kasus kejahatan perbankan sejatinya tidak bisa terlepas dari dua ancaman risiko, yaitu karena kesalahan manusia dan sistem. Selain itu, ancaman keterlibatan dari orang dalam perbankan juga harus diwaspadai. Kredit fiktif yang terungkap di sejumlah bank jelas mengindikasikan bahwa ada keterlibatan orang dalam di sejumlah kasus kejahatan perbankan adalah benar adanya.
Oleh karena itu, jaminan atas pengawasan internal bagi SDM perbankan seharusnya lebih diperketat karena kejahatan kerah putih sektor perbankan cenderung terus meningkat. Padahal, konsekuensi dari terungkapnya kasus-kasus kejahatan perbankan sangat kompleks karena tidak hanya menyangkut sistem perbankan, tetapi juga kepercayaan nasabah.
Jika dicermati, sebenarnya kasus kejahatan perbankan, baik yang melibatkan dana milik nasabah atau internal bank tidak perlu terjadi jika pengawasan dilakukan lebih ketat. Bahkan, modus kredit fiktif seharusnya juga semakin sulit untuk dilakukan sebagai bentuk kejahatan perbankan karena secara regulasi seharusnya telah ada prinsip 5C yaitu capacity, character, capital, condition, dan colateral. Artinya celah untuk melakukan kejahatan perbankan dengan modus kredit fiktif seharusnya memang sulit dilakukan dan jika terjadi maka tentu ada dugaan kuat keterlibatan oknum pihak internal bank.
Belajar dari kejahatan perbankan dengan modus kredit fiktif maka seharusnya prosedur pengawasan perbankan lebih diperketat. Artinya, pengawasan internal dan proses pengawasan eksternal harus sistematis.
Paling tidak ketika pengawasan internal mampu dilakukan maka seharusnya deteksi awal sudah bisa mengendus kejahatan kerah putih di perbankan. Masalahnya adalah ketika niat kejahatan itu dilakukan secara kolektif dan jika hal ini terjadi maka sistem pengawasan eksternal menjadi pintu terakhir untuk memantau setiap peluang kejahatan yang mungkin terjadi.
Oleh karena itu, independensi sangatlah penting dilakukan dan proses pengawasan internal menjadi senjata yang ampuh sebagai langkah awal mereduksi kejahatan perbankan. Pentingnya pengawasan internal dan eksternal ini seharusnya menjadi momentum untuk melakukan pembenahan terhadap operasional perbankan.
Terkait hal ini, maka pengambilalihan pengawasan perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi peluang untuk memacu komitmen pengawasan. Paling tidak, realita dari kasus-kasus kejahatan kerah putih di sektor perbankan menjadi pelajaran bagi OJK untuk bisa meminimalisasi peluang terjadinya kejahatan perbankan yang lain.
Kasus Eddy Tanzil dan Malinda Dee seharusnya memberikan pelajaran berharga bagi perbankan untuk meningkatkan integritas SDM-nya dan juga pengawasan di semua lini operasional.
Selain itu, kasus Bank Century juga menjadi pelajaran berharga terkait pengawasan bagi operasional perbankan. Terlepas dari politisasinya, yang jelas, kerugian dari kejahatan perbankan sangat besar karena tidak hanya melibatkan dana nasabah atau pihak ketiga, tapi juga aspek kepercayaan masyarakat. Padahal, operasional perbankan sangat terkait dengan aspek kepercayaan masyarakat dan ketika kepercayaan tersebut hilang tentunya akan sangat sulit bagi perbankan untuk menarik dana pihak ketiga.
Oleh karena itu, hal ini menjadi bukti bahwa daya tarik sektor perbankan tidak hanya terkait dengan bunga yang ditawarkan, tapi juga bagaimana perbankan mampu memberikan kepercayaan atas semua dana yang disimpan nasabah.
Belajar dari kasus-kasus kejahatan perbankan, maka peran pengawasan dari BI memang harus lebih ketat. Meski peran BI tersebut telah diserahkan kepada OJK namun tidak ada salahnya jika BI juga perlu melakukan pengawasan internal. Bahkan, BI juga perlu mengawasi perbankan sampai tingkat cabang.
Hal ini mungkin bisa dilakukan secara periodik atau dengan mekanisme sistem ter tentu. Intinya adalah meningkatkan pengawasan internal di semua lini operasional perbankan dan jika hal ini bisa dilakukan tambahan pengawasan eksternal akan lebih memperkuat kualitas pengawasan yang terjadi.
Jika keduanya bisa dilakukan, peluang terjadinya kejahatan perbankan bisa diminimalisasi. Ironisnya, peluang kasus-kasus kejahatan perbankan akan terus berkembang ketika semua regulasi tidak ditaati, tapi justru disiasati.
Penulis : Sumarwan