Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Dunia pendidikan di Kab. Tana Toraja berduka lantaran perbuatan asusila yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seseorang yang berstatus sebagai oknum tenaga pendidik. Sekira pukul 15.30 wita di Mako Polres Tana Toraja Unit PPA Polres Tana Toraja melakukan penahanan tersangka dugaan tindak pidana asusila terhadap anak dibawah umur, Jumat (16/08/19).
Setelah menerima Laporan Polisi Unit PPA langsung melakukan pemeriksaan terhadap korban dan para saksi, dari hasil pemeriksaan diduga keras telah terjadi dugaan tindak pidana asusila terhadap anak dibawah umur di Mengkendek, Kec. Mengkendek, Kab. Tana Toraja yang diduga dilakukan oleh IGS (56) seorang PNS, warga Ge’tengan Kel. Rantekalua’ Kec. Mengkendek Kab. Tana Toraja, terhadap korban NS (16) .
IGS merupakan pengelola sekolah sekaligus Kepala Sekolah disalah satu sekolah Swasta yang terletak di Mengkendek Kab. Tana Toraja dan NS sendiri merupakan murid dari tersangka IGS.
Setelah melakukan pemeriksaan terhadap korban dan para saksi, penyidik PPA mengambil kesimpulan bahwa tersangka patut diduga keras telah terjadi tindak Pidana asusila terhadap anak dibawah umur, sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 81 ayat (2) Undang – Undang RI NO. 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU RI NO.01 tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU RI NO.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjadi Undang – undang berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LPB / 93/ VIII / 2019 / SPKT tanggal 15 Agustus 2019 Saat ini tersangka di Rutan Polres Tana Toraja untuk Penyidikan lebih lanjut.
Informasi yang diperoleh bahwa kejadian tersebut berawal pada bulan April 2019 pelaku menyuruh korban untuk memijat diruang tamu dimana pada saat itu hanya pelaku dan korban yang berada dirumah, sekitar 15 menit kemudian pelaku meminta untuk dipijat didalam kamar dan pada saat itu koban kemudian dicabuli oleh pelaku.
Mewakili Kapolres Tana Toraja, Kasat Reskrim AKP Jon Paerunan membenarkan penahanan tersangka di rutan Mapolres Tator. “Tersangka di tahan di rutan Polres Tator untuk menjalani proses penyidikan selanjutnya,” kata Jon Paerunan singkat.
Sungguh memprihatinkan, kejadian perilaku asusila di toraja sudah mencapai titik kritis, namun yang lebih memperihatinkan lagi adalah kurangnya perhatian dari berbagai elemen menyikapi hal ini.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan, sudah sepantasnya Indonesia ditetapkan sebagai negara darurat kejahatan seksual terhadap anak. Dasar pemikirannya, kasus terus menerus terjadi dan tingkat sebarannya pun sudah merata. Begitupun dengan predator atau pelakunya, bisa siapa saja.
“62 persen dari semua kasus pelanggaran terhadap anak itu adalah kejahatan seksual. Sebaran masalahnya bukanya hanya terjadi dilingkungan terdekat anak dan perkotaan, tapi sudah merambah hingga ke pelosok desa,” kata Arist Merdeka Sirait beberapa waktu lalu.
Dengan adanya status darurat ini, Pemerintah sudah seharusnya mengambil sikap tegas dan tindakan nyata untuk meminimalisir kasus. Salah satu caranya adalah membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) mulai dari tingkat desa sampai kota, dengan melibatkan masyarakat.
“Tim reaksi cepat ini harus diisi oleh masyarakat yang memang mengenal wilayahnya langsung, bisa beranggotakan karang taruna, rukun tetangga, rukun warga, kader posyandu, dan lainnya. Dengan begitu, upaya pendeteksian dini tindak kekerasan seksual terhadap anak akan lebih mudah,” ujarnya.
Para korban yang mengalami kekerasan seksual seperti sebuah siklus, dimana ketika dewasa korban tersebut akan berubah menjadi pelaku kekerasan seksual karena faktor dendam. Dari semua kasus kekerasan seksual, persentasenya lebih dari 60 persen.
Korban pelecehan seksual sudah seharusnya direhabilitasi, minimal dilakukan selama satu tahun. Disamping rehabilitasi, juga perlu pendampingan psikolog, minimal hingga usianya mencapai 18 tahun.
Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, pengakuan pelaku kekerasan seksual pernah menjadi korban kekerasan serupa hanya sebuah alasan.
“Jika baru dicabuli satu kali, pasti dia ketakutan dan merasakan sakit luar biasa. Makanya itu hanya alasan saja. Kecuali, jika sudah pernah berkali-kali kemungkinan besar dia ingin balas dendam,” paparnya.
Sedikitnya, terdapat tiga faktor tindak kekerasan seksual terhadap anak bisa terjadi. Pertama, pelaku menderita penyimpangan seksual (pedofilia), bahkan ada yang melakukan mutilasi. Kedua, pelaku penderita psikopat, sehingga sulit disembuhkan dan tidak akan pernah menyesali perbuatannya. Ketiga, pelaku sedang melakukan ritual ilmu hitam dengan syarat harus melakukan hubungan seks dengan anak di bawah umur.
“Dari ketiga faktor ini, masalah utama adalah lemahnya perlindungan terhadap anak baik dari orangtua, keluarga, lingkungan, dan terakhir adalah pemerintah,” Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara ini.