Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Bhabinkamtibmas Polsek Bajeng Polres Gowa, Bripka Mawardi memberikan sosialisasi dan himbauan kepada warga binaannya di Lingkungan Kanarea Kelurahan Limbung Kec. Bajeng Kab. Gowa, Selasa (31/03/2020).
Kali ini, Bripka Mawardi mendatangi rumah Ibu Rosmiati Dg Nurung dan keluarganya serta rumah bapak Hamzah Dg Sese untuk diberikan himbauan terkait penyebaran virus Covid 19.
Dalam himbuannya, Bripka Mawardi mengajak warganya agar tetap mengikuti himbauan dari pemerintah tentang penanggulangan dan pencegahan virus Corona, agar kurangi beraktivitas diluar rumah, kalau tidak penting serta tetap menjaga sitkamtibmas yang aman dan kondusif,” imbau Bripka Mawardi.
Kapolsek Bajeng Iptu Sunardi, SH, MH ditempat terpisah mengatakan,”Ini sebagai langkah-langkah maupun upaya Bhabinkamtibmas dengan mensosialisasikan pencegahan virus Corona kewarga binaannya,” ucap Kapolsek.
Himbauan untuk tidak keluar rumah yang dilakukan Bhabinkamtibmas Polsek Bajeng merupakan intruksi Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu untuk bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan ibadah dirumah demi mencegah penyebaran Covid-19.
Terkait poin terakhir tentang himbauan untuk ibadah dirumah, bagaimanakah Islam memandangnya, berikut beberapa penjelasan dari DR. Firanda Andirja, Lc, MA (Salah satu penceramah di Masjid Nabawi Madinah asal Indonesia) terkait intruksi pemerintah untuk mengisolasi diri dirumah.
A. Terkait Masuk dan Keluar dari Kota yang Terkena Wabah
Pertama : Jika mendengar ada corona terjadi di sebagian kota maka orang-orang yang berada di luar kota tersebut tidak boleh masuk ke kota tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihissam bersabda:
“Jika kalian mendengar tentang thoún di suatu tempat maka janganlah mendatanginya, dan jika mewabah di suatu tempat sementara kalian berada di situ maka janganlah keluar karena lari dari thoún tersebut” (HR Al-Bukhari 3473 dan Muslim no 2218)
Adapun hikmah tidak mendatangi ke area tersebut adalah agar tidak tertular, sebagaimana sabda Nabi shallallahu álaihi wasallam,
“Larilah dari orang yang kusta sebagaimana engkau lari dari singa” (HR Ahmad no 9722 dan dishahihkan oleh al-Arnauth dan Al-Albani di As-Shahihah no 783)
Ini menunjukan seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh agar menghindar dari orang yang sedang berpenyakit menular, karena Nabi shallallahu álaihi wasallam menyuruh untuk lari seperti lari dari ganasnya singa. Dan Allah berfirman :
“Dan janganlah kalian menjerumuskan diri kalian ke dalam kebinasaan” (QS Al-Baqoroh : 195)
Kedua : Barang siapa yang berada di lokasi wabah maka tidak boleh keluar dari lokasi tersebut jika karena ingin menghindar, karena sabda Nabi di atas. Ada beberapa hikmah yang disebutkan oleh para ulama tentang sebab larangan ini, diantaranya :
Pertama : Agar wabah tersebut tidak lebih luas penyebarannya. Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda :
“Dan janganlah membawa onta yang sakit kepada onta yang sehat” (HR Al-Bukhari no 5774 dan Muslim no 2221)
Kedua : Jika semua orang sepakat untuk keluar dari lokasi maka jadilah orang yang tidak mampu untuk keluar -karena sudah parah- tidak akan ada yang mengurusi mereka, baik dalam kondisi ia sakit atau setelah ia meninggal. Yaitu jika dia sakit tidak ada yang merawatnya, dan jika ia meninggal maka tidak ada yang menguburkannya.
Ketiga : Jika dibolehkan untuk keluar dari lokasi wabah maka orang-orang yang kuat akan keluar dan tentu ini akan menghancurkan hati orang-orang yang tidak mampu keluar karena mereka ditinggalkan oleh saudara-saudara mereka. Demikian juga semakin memasukkan rasa takut ke dalam hati mereka.
Keempat : Dengan tidak keluar maka orang-orang yang bertahan hidup mampu untuk memiliki kemampuan menghadapi penyakit tersebut dengan kondisi cuaca yang ada. Bisa jadi jika mereka keluar kondisinya berbeda. Berkaitan dengan corona ternyata lebih banyak yang bertahan hidup daripada yang meninggal.
Kelima : Sangat memungkinkan bahwa orang yang keluar lantas selamat maka ia akan berkata, “Seandainya aku bertahan (tidak keluar) tentu aku akan terkena wabah”, dan sebaliknya yang terkena wabah akan berkata, “Seandainya aku keluar tentu aku akan selamat”. Dan perkataan “seandainya” yang seperti ini dilarang oleh syariát. (Lihat poin kedua hingga kelima di Fathul Baari 10/189)
Keenam : Orang yang keluar akan melewatkan dirinya dari kesempatan untuk meraih pahala mati syahid. Karena jika ia bertahan dengan sabar maka ia akan mendapatkan pahala mati syahid apakah ia meninggal ataukah sakit lalu sembuh, atau tidak terkena wabah sama sekali. (Lihat : Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubro 4/10-11)
Karena barang siapa yang bersabar untuk tidak keluar dari lokasi wabah karena mencari wajah Allah maka ia mendapatkan pahala mati syahid meskipun ia selamat, dengan syarat ia tidak mengeluh.
Ibnu Hajar al-Haitami berkata :
“Pahala mati syahid hanyalah tercatat bagi orang yang tidak keluar dari daerah wabah thoún, dan ia menetap karena mencari pahala dari Allah, berharap janji Allah, menyadari bahwa jika wabah tersebut menimpanya atau terhindar darinya semuanya dengan taqdir Allah, dan ia tidak mengeluh jika menimpanya” (Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubro 4/14)
Lari keluar dari lokasi wabah merupakan dosa besar, karena disamakan seperti lari dari medan pertempuran, sementara lari dari medan pertempuran merupakan dosa besar. Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda :
“Orang yang lari dari wabah tho’un seperti orang yang lari dari medan pertempuran” (HR Ahmad no 14477 dan dinilai hasan lighoirihi oleh al-Arnauth dan juga al-Albani di as-Shahihah no 1292)
Ketiga : Yang dilarang adalah lari dari lokasi wabah karena ingin terhindar dari wabah, yaitu berdasarkan sabda Nabi فِرَارًا مِنْهُ “karena lari dari wabah”. Adapun jika seseorang keluar dari lokasi wabah karena ada keperluan lain maka hal ini tidaklah mengapa. Contoh ia keluar dari lokasi wabah karena ada tugas dan pekerjaan, atau karena harus menjenguk orang tua dan karena hal-hal yang lain, yang tentunya hanya Allah yang mengetahui niatnya yang sesungguhnya.
An-Nawawi berkata :
“Adapun keluar dari lokasi wabah karena ada keperluan (bukan untuk menghindar dari wabah) maka tidak mengapa….dan para ulama sepakat akan bolehnya keluar karena pekerjaan atau tujuan lain selain menghindar dari wabah” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 14/205-207)
Ibnu Hajar al-Ásqolani berkata :
“Barang siapa yang keluar karena murni kebutuhan bukan sama sekali karena hendak menghindar dari wabah, dan kondisi ini bisa tergambarkan pada orang yang hendak bersiap bersafar dari suatu negeri yang ditinggalinya menuju negeri tempa menetapnya misalnya, dan wabah thoún belum mewabah, lalu tiba-tiba bertepatan muculnya wabah dengan kondisinya yang hendak bersafar, maka orang ini sama sekali tidak bermaksud untuk menghindar dari wabah, maka ia tidak termasuk dalam larangan” (Fathul Baari 10/188).
Namun tetap saja seseorang yang merasa sehat ketika harus meninggalkan kota wabah karena ada keperluan maka hendaknya ia benar-benar memperhatikan segala kemungkinan, jangan sampai ia malah memindahkan virus yang masih dalam masa inkubasi dalam dirinya. Jika dia pun harus keluar maka jangan berkontak dengan siapapun hingga selesai masa inkubasi (sekitar 2 minggu) untuk memastikan bahwa ia telah sehat dan bebas corona. Wallahu a’lam.
Keempat : Jika ternyata wabah sudah menyebar dan kasusnya sama antara kota A dan kota B atau serta kota C, maka tidak mengapa seseorang masuk dan keluar dari dan menuju kota-kota tersebut, karena sama hukumnya, sama-sama lokasi wabah. Ibnu Hajar al-Haitami.
“Jika wabah telah meliputi suatu negara maka tidak mengapa keluar dari satu daerahnya ke daerah yang lain, karena pada kondisi demikian tidak ada bentuk lari lagi” (Al-Fataawa al-Fiqhiyah al-Kubro 4/11)
B. Terkait Shalat Berjamaah
Pertama : Boleh meninggalkan shalat berjamaah dan shalat jumat.
Jika kota telah ditetapkan sebagai kota wabah, dan sudah semakin banyak korban maka tidak mengapa seseorang untuk tidak shalat berjamaáh dan bahkan tidak mengapa untuk meninggalkan shalat jumát.
Hal ini karena diantara hal yang bisa menjadikan kewajiban berjamaáh adalah hujan, takut, sakit, angin kencang, dan semisalnya, maka bagaimana lagi dengan kawatir dengan virus yang bisa menimbulkan kematian dan tersebar begitu cepat.
Kaidah pertama : Semua udzur yang membolehkan untuk meninggalkan shalat berjamaáh itulah juga udzur untuk membolehkan meninggalkan shalat jumát.
“Udzur-udzur yang membolehkan meninggalkan shalat berjamaáh itulah udzur untuk meninggalkan shalat jumát. Maka tidak wajib jumát bagi orang yang takut atas (keburukan menimpa) dirinya, atau menimpa hartanya, demikian juga orang yang kehujanan dalam perjalanannya (menunju masjid), demikian orang yang sedang mengurusi orang sakit yang dikawatirkan akan terlalaikan (jika ia meninggalkannya untuk shalat jumát)” (Al-Bayaan fi madzhab al-Imam Asyafií 2/545)
Kaidah kedua : Udzur-udzur tersebut bersifat umum yaitu semua hal yang menimbulkan kesulitan. An-Nawawi berkata :
“Sesungguhnya permasalahan udzur-udzur yang membolehkan meninggalkan shalat jumát dan shalat berjamaáh bukanlah udzur khusus, akan tetapi semua yang mendatangkan kesulitan yang berat maka termasuk udzur. Dan becek termasuk udzur” (Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzzab 4/384)
Jika becek dan hujan saja bisa menjadi udzur untuk meninggalkan shalat jumát dan shalat berjamáah maka apalagi kawatir terkena penyakit korona yang bisa merenggut nyawa, bukan nyawa sendiri bahkan nyawa keluarga dan banyak orang (karena resiko penularan yang begitu cepat). Demikian juga orang yang sakit dan yang kawatir terkena penyakit maka boleh meninggalkan shalat berjamaáh dan shalat jumát.
Al-Mardawi berkata :
“Dan orang yang sakit diberi udzur untuk meninggalkan shalat jumát dan shalat berjamaáh tanpa ada perselisihan. Dengan diberi udzur juga untuk meninggalkan shalat jumát dan shalat berjamaáh karena ketakutan munculnya penyakit” (Al-Inshoof 2/300)
Jika seseorang boleh meninggalkan shalat berjamaáh karena makanan yang sudah hadir dan juga karna menahan buang air karena pikirannya tersibukan tidak bisa khusyu’, maka terlebih lagi ketakutan terhadap virus corona. Bagaimana seseorang shalat sementara pikirannya paranoid terhadap dirinya dan orang-orang disekitarnya. Terlebih lagi virus corona tidak kelihatan, dan juga orang yang terjangkiti virus tersebut bisa jadi tidak langsung nampak tanda-tandanya. Bisa jadi ia merasa sehat ternyata ia terjangkiti, lantas ia berinterakasi dengan orang-orang lain akhirnya ia ikut menularkan virus tersebut.
Juga berdasarkan kaidah fikih “Menolak kemudorotan didahulukan daripada meraih kemaslahatan”
Alhamdulillah ulama al-Lajnah ad-Daimah (Arab Saudi) telah mengeluarkan fatwa pada tanggal 7 Rajab 1441 (12 Maret 2020) yang berkaitan dengan virus corona, diantara poin-poin fatwa tersebut :
“Barangsiapa yang kawatir mendapatkan kemudorotan atau memberi kemudorotan kepada orang lain maka ia diberi keringanan untuk tidak menghadiri shalat jumát dan shalat jamaat, berdasarkan sabda Nabi “Tidak boleh melakukan mudorot pada diri sendiri dan juga memudorotkan orang lain” (HR Ibnu Majah). Dan pada kesemuanya jika seseorang tidak menghadiri shalat jumát maka ia menggantinya dengan shalat dzuhur 4 rakaát” (https://www.spa.gov.sa/2047028)