Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Seorang wanita berinisial RB nyaris jadi korban pemerkosaan seorang pemuda berinisial AA (22). Aksi cabul itu dilakukan AA di salah satu rumah di Lingkungan Kurung, Kecamatan Sendana, Kota Palopo, beberapa waktu lalu.
Beruntung RB berhasil lolos dari aksi pemerkosaan tersebut. Plt Humas Polres Palopo, Iptu Patobun membenarkan kejadian tersebut.
Mantan Kapolsek Wara Utara itu menjelaskan korban sendiri masih di bawah umur. Kejadian itu bermula saat pelaku membawa RB di rumah yang tidak diketahui korban.
Saat tiba di rumah tersebut, pelaku secara paksa mendorong korban ke dalam kamar dan dikunci dari luar. Tak berselang lama AA kemudian masuk kembali ke dalam kamar dan mulai melakukan pemerkosa terhadap korban.
“Beruntung aksi itu gagal karena korban melakukan perlawanan. Bagian sensitif pelaku ditendang korban, rambut dijambak dan matanya dipukul HP, karena itulah korban berhasil melarikan diri ke jalan poros,” ujar Iptu Patobun.
RB lalu menelepon orang tuanya atas kejadian yang baru saja dialaminya. Orang tuanya pun keberatan dan melaporkan hal tersebut ke Polres Palopo.
“Setelah menerima laporan, kami lalu melakukan serangkaian penyelidikan untuk mengetahui dimana lokasi pelaku. Setelah informasi kami dapatkan, tim lalu menuju ke lokasi yang dimaksud,” katanya.
Pelaku sendiri berhasil diamankan di kampung halamannya di Lamasi, Kabupaten Luwu, Sabtu 16 Juli 2022 dini hari. Saat diinterogasi, pelaku mengakui semua perbuatannya. “Saat ini, AA sudah kami amankan di Mapolres Palopo,” pungkasnya.
Kasus kekerasan seksual (pencabulan) terhadap anak masih terus terjadi di Indonesia. Termasuk juga seperti yang terjadi di wilayah hukum Polres Gowa.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan, sudah sepantasnya Indonesia ditetapkan sebagai negara darurat kejahatan seksual terhadap anak. Dasar pemikirannya, kasus terus menerus terjadi dan tingkat sebarannya pun sudah merata. Begitupun dengan predator atau pelakunya, bisa siapa saja.
“62 persen dari semua kasus pelanggaran terhadap anak itu adalah kejahatan seksual. Sebaran masalahnya bukanya hanya terjadi dilingkungan terdekat anak dan perkotaan, tapi sudah merambah hingga ke pelosok desa,” kata Arist Merdeka Sirait beberapa waktu lalu.
Dengan adanya status darurat ini, Pemerintah sudah seharusnya mengambil sikap tegas dan tindakan nyata untuk meminimalisir kasus. Salah satu caranya adalah membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) mulai dari tingkat desa sampai kota, dengan melibatkan masyarakat.
“Tim reaksi cepat ini harus diisi oleh masyarakat yang memang mengenal wilayahnya langsung, bisa beranggotakan karang taruna, rukun tetangga, rukun warga, kader posyandu, dan lainnya. Dengan begitu, upaya pendeteksian dini tindak kekerasan seksual terhadap anak akan lebih mudah,” ujarnya.
Para korban yang mengalami kekerasan seksual seperti sebuah siklus, dimana ketika dewasa korban tersebut akan berubah menjadi pelaku kekerasan seksual karena faktor dendam. Dari semua kasus kekerasan seksual, persentasenya lebih dari 60 persen.
Korban pelecehan seksual sudah seharusnya direhabilitasi, minimal dilakukan selama satu tahun. Disamping rehabilitasi, juga perlu pendampingan psikolog, minimal hingga usianya mencapai 18 tahun.
Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, pengakuan pelaku kekerasan seksual pernah menjadi korban kekerasan serupa hanya sebuah alasan.
“Jika baru dicabuli satu kali, pasti dia ketakutan dan merasakan sakit luar biasa. Makanya itu hanya alasan saja. Kecuali, jika sudah pernah berkali-kali kemungkinan besar dia ingin balas dendam,” paparnya.
Sedikitnya, terdapat tiga faktor tindak kekerasan seksual terhadap anak bisa terjadi. Pertama, pelaku menderita penyimpangan seksual (pedofilia), bahkan ada yang melakukan mutilasi (sadism). Kedua, pelaku penderita psikopat, sehingga sulit disembuhkan dan tidak akan pernah menyesali perbuatannya. Ketiga, pelaku sedang melakukan ritual ilmu hitam dengan syarat harus melakukan hubungan seks dengan anak di bawah umur.
“Dari ketiga faktor ini, masalah utama adalah lemahnya perlindungan terhadap anak baik dari orangtua, keluarga, lingkungan, dan terakhir adalah pemerintah,” Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara ini.