Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Kepolisian Sektor Sukamaju Polres menggelar konferensi pers terkait kasus pencabulan anak dibawah umur yang dihadiri oleh sejumlah wartawan online di ruang Polsek Sukamaju, Rabu (19/6/19). Dalam konferensi pers Kapolsek Sukamaju Ipda Kawaru yang didampingi Paur Humas Polres Luwu Utara, Brigadir Dede Arifandi serta Banit Reskrim Polsek, Sukamaju Bripka Satria.
Ipda Kawaru mengatakan, pelaku yang berinisial JR (39) ini ditangkap di kebun kelapa sawit, pada Selasa sore (18/06) saat sedang bekerja memanen sawit di kampungnya di Kampung Sepang, Dusun Landung, Desa Tolangi, Kecamatan Sukamaju, Kabupaten Luwu Utara. Untuk diketahui korban pencabulan adalah anak kandung pelaku sendiri.
“Pelaku ditangkap dari laporan orang tua korban atau istri pelaku berinisial SL dengan LPB/28/VI/2019/Sek. Sukamaju,18 Juni 2019,” jelasnya.
Lebih lanjut Ipda Kawaru mengungkapkan bahwa pelaku mencabuli anaknya sebanyak 8 kali ditempat yang berbeda, 4 kali dirumah lama dan 4 kali dirumah barunya. “Tersangka mencabuli anaknya sejak korban SM (15) masih kelas 1 SMP sampai lulus SMP dan terakhir dua minggu lalu,” pungkasnya.
Pelaku Dijerat dengan pasal 81 junto pasal 76 D Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dengan ancaman maksimal 15 Tahun Penjara.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan, sudah sepantasnya Indonesia ditetapkan sebagai negara darurat kejahatan seksual terhadap anak. Dasar pemikirannya, kasus terus menerus terjadi dan tingkat sebarannya pun sudah merata. Begitupun dengan predator atau pelakunya, bisa siapa saja.
“62 persen dari semua kasus pelanggaran terhadap anak itu adalah kejahatan seksual. Sebaran masalahnya bukanya hanya terjadi dilingkungan terdekat anak dan perkotaan, tapi sudah merambah hingga ke pelosok desa,” kata Arist Merdeka Sirait beberapa waktu lalu.
Dengan adanya status darurat ini, Pemerintah sudah seharusnya mengambil sikap tegas dan tindakan nyata untuk meminimalisir kasus. Salah satu caranya adalah membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) mulai dari tingkat desa sampai kota, dengan melibatkan masyarakat.
“Tim reaksi cepat ini harus diisi oleh masyarakat yang memang mengenal wilayahnya langsung, bisa beranggotakan karang taruna, rukun tetangga, rukun warga, kader posyandu, dan lainnya. Dengan begitu, upaya pendeteksian dini tindak kekerasan seksual terhadap anak akan lebih mudah,” ujarnya.
Para korban yang mengalami kekerasan seksual seperti sebuah siklus, dimana ketika dewasa korban tersebut akan berubah menjadi pelaku kekerasan seksual karena faktor dendam. Dari semua kasus kekerasan seksual, persentasenya lebih dari 60 persen.
Korban pelecehan seksual sudah seharusnya direhabilitasi, minimal dilakukan selama satu tahun. Disamping rehabilitasi, juga perlu pendampingan psikolog, minimal hingga usianya mencapai 18 tahun.
Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, pengakuan pelaku kekerasan seksual pernah menjadi korban kekerasan serupa hanya sebuah alasan.
“Jika baru dicabuli satu kali, pasti dia ketakutan dan merasakan sakit luar biasa. Makanya itu hanya alasan saja. Kecuali, jika sudah pernah berkali-kali kemungkinan besar dia ingin balas dendam,” paparnya.
Sedikitnya, terdapat tiga faktor tindak kekerasan seksual terhadap anak bisa terjadi. Pertama, pelaku menderita penyimpangan seksual (pedofilia), bahkan ada yang melakukan mutilasi. Kedua, pelaku penderita psikopat, sehingga sulit disembuhkan dan tidak akan pernah menyesali perbuatannya. Ketiga, pelaku sedang melakukan ritual ilmu hitam dengan syarat harus melakukan hubungan seks dengan anak di bawah umur.
“Dari ketiga faktor ini, masalah utama adalah lemahnya perlindungan terhadap anak baik dari orangtua, keluarga, lingkungan, dan terakhir adalah pemerintah,” Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara ini.