Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Bhabinkamtibmas Polrestabes Makassar Aiptu Nur Alim merespon cepat pengaduan masyarakat terkait adanya kegiatan pesta minuman keras hingga dini hari di wilayah Kelurahan Daya, Selasa (26/10/2021).
Kegiatan pesta miras tersebut sudah lama dan sudah di tegur oleh tiga pilar kelurahan daya namun mereka masih tetap melakukan hal yang sama.
Di konfirmasi Bhabinkamtibmas Polrestabes Makassar Aiptu Nur Alim menuturkan bahwa kami bersama tiga pilar sudah menegur mereka namun seakan-akan mereka abaikan teguran tersebut.
Makanya dengan adanya laporan pengaduan dari masyarakat kami respon dan langsung mengecek lokasi tersebut dan masih kami temukan mereka sementara pesta miras sehingga kami bersama babinsa Serma Juaib dan tim Jaga lingkungan kelurahan daya membubarkan kegiatan pesta miras tersebut dan membawa mereka ke mako polsek biringkanaya untuk di berikan pembinaan.
Semoga kegiatan pesta miras tersebut tidak terulang kembali dan kami tetap pantau terus demi mengantisipasi terjadinya gangguan kamtibmas di wilayah kelurahan daya.
Sulsel memiliki kultur yang terbilang tempramentatif. Ada filosofi siri na pacce yang dianut masyarakat yang kerap ditafsirkan keliru. Lengkapnya, di masyarakat tradisional tumbuh kebiasaan mengonsumsi miras berupa ballo.
Ballo ini yang banyak menjadi pemicu kejahatan, terutama kekerasan. Dari fakta yang ada,di masyarakat terjadi banyak konflik karena dua hal. Pertama, karena filosofi siri na pacce yang disalahtafsirkan, dan kedua karena miras (ballo) yang dikonsumsi dianggap sebagai hal yang biasa.
“Seperti fenomena begal sekarang ini, dominan pelakunya itu dalam pengaruh miras. Ada budaya keliru di masyarakat kita yang menganggap miras itu sebagai simbol kelaki-lakian. Bukan laki-laki kalau tidak minum ballo,” ujar budayawan Ishak Ngeljaratan, dalam tulisannya tentang kultur orang-orang Sulsel.
Inilah pemahaman keliru yang membudaya. Akibatnya, budaya kekerasan itu berkembang di masyarakat.
Ishak mengatakan, siri na pacce itu adalah filosofi agung. Maknanya sangat dalam. Ia menyimbolisasi orang-orang Sulsel sebagai orang yang punya siri atau malu.
“Orang Sulsel itu malu kalau berbuat jahat. Malu kalau minum ballo. Malu kalau belum bisa berbuat kebaikan untuk orang banyak,” katanya.
Bagaimana meluruskan prinsip ini? Kata Ishak, harus dimulai dari keluarga. Setelah itu kekuasaan juga berperan penting. Pemimpin harus memberi teladan bagaimana memimpin dengan benar.
“Pemimpin itu keteladanan. Kalau tidak ada keteladanan, maka jangan salahkan masyarakat jadi brutal,” jelasnya.
Pengamat komunikasi publik, Aswar Hasan berpendapat, prinsip-prinsip dasar siri na pacce memang perlu diperkenalkan lebih dalam kepada anak-anak kita. Sebab, filosofi ini sudah ditafsirkan liar dan tidak bertanggung jawab.
Bahkan ada kelompok masyarakat yang masih menganggap mengonsumsi miras sebagai bagian dari simbolisasi siri na pacce. Mereka merasa tidak hebat kalau tidak minum miras.
Kebiasaan inilah yang mesti dihapus. Stigma tersebut perlu diluruskan lewat kampanye-kampanye kantibmas. Aswar mengaku salut dengan upaya Kapolda yang terus melakukan pendekatan filosofis ke masyarakat.
“Ini bentuk pendekatan polisi secara sosial yang bisa berdampak positif. Apalagi lewat pendekatan spiritual di masjid-masjid, itu akan sangat efektif menggugah masyarakat,” imbuhnya.