Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Aparat Polres Enrekang mengamankan seorang warga Desa Tapong, Kecamatan Maiwa Enrekang terkait kasus kekerasan terhadap anak dibawah umur, Rabu (10/06/2020).
Pemeriksanan itu Berdasarkan Laporan Polisi Nomor : Lp/35/V/2020/SPKT, tanggal 15 mei 2020 terkait kekerasan terhadap anak dibawah umur, Unit PPA Polres Enrekang melakukan serangkaian Penyidikan.
Berdasarkan Laporan Polisi tersebut, Unit PPA Polres Enrekang yang dipimpin langsung Oleh Kanit PPA Polres Enrekang Brigpol Yelly Susanto membenarkan adanya laporan Polisi tersebut dan sudah dalam Proses penyidikan.
Kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh terlapor yakni lelaki berinisial D (36) alamat desa tapong, Kecamatan Maiwa terhadap pelapor berinisial G (16) alamat desa peladang, Kecamatan Maiwa.
Kasat Reskrim Polres Enrekang AKP Saharuddin, SH, M.Si mengatakan bahwa kasus yang ditangani oleh Unit PPA sekarang dalam proses penyidikan dan sudah melakukan pemeriksaan terhadap saksi Korban, dua orang saksi-saksi yang lain dan sudah mengamankan Pelaku Penganiayaan tersebut.
“Dan gelar perkara terkait kasus tersebut sudah di lasanakan dan hasil gelar pelaku ditingkatkan ke proses penyidikan serta penetapan tersangka,” ucapnya.
Ia menambahkan, hingga saat ini sudah ada 4 saksi beserta terlapor yang kami periksa di unit PPA.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan, sudah sepantasnya Indonesia ditetapkan sebagai negara darurat kejahatan seksual terhadap anak. Dasar pemikirannya, kasus terus menerus terjadi dan tingkat sebarannya pun sudah merata. Begitupun dengan predator atau pelakunya, bisa siapa saja.
“62 persen dari semua kasus pelanggaran terhadap anak itu adalah kejahatan seksual. Sebaran masalahnya bukanya hanya terjadi dilingkungan terdekat anak dan perkotaan, tapi sudah merambah hingga ke pelosok desa,” kata Arist Merdeka Sirait beberapa waktu lalu.
Dengan adanya status darurat ini, Pemerintah sudah seharusnya mengambil sikap tegas dan tindakan nyata untuk meminimalisir kasus. Salah satu caranya adalah membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) mulai dari tingkat desa sampai kota, dengan melibatkan masyarakat.
“Tim reaksi cepat ini harus diisi oleh masyarakat yang memang mengenal wilayahnya langsung, bisa beranggotakan karang taruna, rukun tetangga, rukun warga, kader posyandu, dan lainnya. Dengan begitu, upaya pendeteksian dini tindak kekerasan seksual terhadap anak akan lebih mudah,” ujarnya.
Para korban yang mengalami kekerasan seksual seperti sebuah siklus, dimana ketika dewasa korban tersebut akan berubah menjadi pelaku kekerasan seksual karena faktor dendam. Dari semua kasus kekerasan seksual, persentasenya lebih dari 60 persen.
Korban pelecehan seksual sudah seharusnya direhabilitasi, minimal dilakukan selama satu tahun. Disamping rehabilitasi, juga perlu pendampingan psikolog, minimal hingga usianya mencapai 18 tahun.
Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, pengakuan pelaku kekerasan seksual pernah menjadi korban kekerasan serupa hanya sebuah alasan.
“Jika baru dicabuli satu kali, pasti dia ketakutan dan merasakan sakit luar biasa. Makanya itu hanya alasan saja. Kecuali, jika sudah pernah berkali-kali kemungkinan besar dia ingin balas dendam,” paparnya.
Sedikitnya, terdapat tiga faktor tindak kekerasan seksual terhadap anak bisa terjadi. Pertama, pelaku menderita penyimpangan seksual (pedofilia), bahkan ada yang melakukan mutilasi. Kedua, pelaku penderita psikopat, sehingga sulit disembuhkan dan tidak akan pernah menyesali perbuatannya. Ketiga, pelaku sedang melakukan ritual ilmu hitam dengan syarat harus melakukan hubungan seks dengan anak di bawah umur.
“Dari ketiga faktor ini, masalah utama adalah lemahnya perlindungan terhadap anak baik dari orangtua, keluarga, lingkungan, dan terakhir adalah pemerintah,” Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara ini.