Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Gabungan Polsek Pallangga yang dipimpin langsung oleh Kapolsek Pallangga Iptu Nasruddin menggelar operasi miras diwilayahnya, Senin (12/04/21).
Pelaksanaan giat operasi diawali dengan apel pengecekan personil dan pemberian APP oleh Kapolsek kemudian langsung melaksanakan razia ketempat-tempat yang menjual minuman keras berupa Bir dan Tuak (Ballo), dalam operasi tersebut personil polsek berhasil mengamankan minuman keras berupa Bir sebanyak 57 botol dan Tuak (Ballo) sebanyak 60 liter kemudian langsung diamankan ke Mapolsek Pallangga.
Razia dilakukan dibeberapa titik di Kecamatan Pallangga yang penjual mirasnya tidak mempunyai izin sehingga minuman yang ditemukan disita dan diamankan.
“Kami akan melaksanakan operasi seperti ini untuk memberantas minuman keras demi menciptakan situasi yang aman dan kondusif dalam rangka menyambut bulan suci ramadhan,” ucap IPTU Nasruddin, SH, MH.
Sesuai perintah Kapolres Gowa AKBP Budi Susanto, SIK, bahwa tujuan operasi miras tersebut adalah untuk menekan terjadinya gangguan kamtibmas yang bermula dari minuman keras, selain itu guna menciptakan situasi kondusif, kegiatan razia dengan sasaran peredaran minuman keras menjelang bulan suci ramadhan yang dilaksanakan sampai dengan tingkat polsek jajaran Polres Gowa.
Sulsel memiliki kultur yang terbilang tempramentatif. Ada filosofi siri na pacce yang dianut masyarakat yang kerap ditafsirkan keliru. Lengkapnya, di masyarakat tradisional tumbuh kebiasaan mengonsumsi miras berupa ballo.
Ballo ini yang banyak menjadi pemicu kejahatan, terutama kekerasan. Dari fakta yang ada,di masyarakat terjadi banyak konflik karena dua hal. Pertama, karena filosofi siri na pacce yang disalahtafsirkan, dan kedua karena miras (ballo) yang dikonsumsi dianggap sebagai hal yang biasa.
“Seperti fenomena begal sekarang ini, dominan pelakunya itu dalam pengaruh miras. Ada budaya keliru di masyarakat kita yang menganggap miras itu sebagai simbol kelaki-lakian. Bukan laki-laki kalau tidak minum ballo,” ujar budayawan Ishak Ngeljaratan, dalam tulisannya tentang kultur orang-orang Sulsel.
Inilah pemahaman keliru yang membudaya. Akibatnya, budaya kekerasan itu berkembang di masyarakat.
Ishak mengatakan, siri na pacce itu adalah filosofi agung. Maknanya sangat dalam. Ia menyimbolisasi orang-orang Sulsel sebagai orang yang punya siri atau malu.
“Orang Sulsel itu malu kalau berbuat jahat. Malu kalau minum ballo. Malu kalau belum bisa berbuat kebaikan untuk orang banyak,” katanya.
Bagaimana meluruskan prinsip ini? Kata Ishak, harus dimulai dari keluarga. Setelah itu kekuasaan juga berperan penting. Pemimpin harus memberi teladan bagaimana memimpin dengan benar.
“Pemimpin itu keteladanan. Kalau tidak ada keteladanan, maka jangan salahkan masyarakat jadi brutal,” jelasnya.
Pengamat komunikasi publik, Aswar Hasan berpendapat, prinsip-prinsip dasar siri na pacce memang perlu diperkenalkan lebih dalam kepada anak-anak kita. Sebab, filosofi ini sudah ditafsirkan liar dan tidak bertanggung jawab.
Bahkan ada kelompok masyarakat yang masih menganggap mengonsumsi miras sebagai bagian dari simbolisasi siri na pacce. Mereka merasa tidak hebat kalau tidak minum miras.
Kebiasaan inilah yang mesti dihapus. Stigma tersebut perlu diluruskan lewat kampanye-kampanye kantibmas. Aswar mengaku salut dengan upaya Kapolda yang terus melakukan pendekatan filosofis ke masyarakat.
“Ini bentuk pendekatan polisi secara sosial yang bisa berdampak positif. Apalagi lewat pendekatan spiritual di masjid-masjid, itu akan sangat efektif menggugah masyarakat,” imbuhnya.