Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Keributan antar remaja kembali terjadi, kali ini di taman segitiga I Love Palopo, Kelurahan Binturu, Kecamatan Wara Selatan, Kota Palopo, 11 Desember 2021 sekira pukul 00.15 Wita, Sabtu dini hari.
Keributan tersebut berlanjut dengan aksi saling kejar- kejaran menggunakan sepeda motor mengarah ke arah Pelabuhan Tanjung Ringgit Palopo. Namun tepat di Jl. Andi Kambo, Kelurahan Surutanga, salah seorang pengendara motor yang diduga bagian dari kelompok pembuat onar itu, terjatuh akibat menabrak pengguna jalan lainnya.
Mengetahui kejadian tersebut, Unit Reskrim Polsek Wara yang dipimpin Panit 1 Opsnal Unit Reskrim Polsek Wara Ipda A. Akbar bersama timnya segerah bergerak ke lokasi dan berhasil mengamankan seorang pemuda yang diduga pembuat onar tersebut.
Saat diperiksa di tempat kejadian perkara (TKP), pada pemuda yang diduga pembuat onar itu didapati senjata tajam (Sajam) jenis badik Balida (Badik khas Sulawesi Tengah).
Untuk proses lebih lanjut, pemuda tersebut kemudian diamankan di Mako Polsek Wara dan saat ini tengah dilakukan proses penyidikan.
Kapolsek Wara AKP Asdar dikonfirmasi melalui Kasihumas Polsek Wara Aipda Wahid, dia menyebutkan identitas pemuda tersebut yakni Adrian (19) pemuda pengangguran dan merupakan warga asal Desa Tulumanda, Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu.
“Saat diinterogasi oleh penyidik, badik dengan panjang 50 Cm yang diamankan darinya itu, merupakan miliknya,” kata Wahid.
“Pelaku pemilik Sajam tersebut yang terbukti menyimpan dan memiliki senjata penusuk/ penikam (badik), dikenakan pasal Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Darurat No.12 Tahun 1951, LN No.78 Tahun 1951,” jelasnya.
Sangat jelas bahwa perkelahian remaja, terutama yang masih berstatus pelajar akan merugikan orang lain. Paling tidak ada empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar dengan usia yang menanjak remaja.
Pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas.
Mungkin adalah yang paling dikhawatirkan adalah berkurangnya penghargaan remaja terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para remaja itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya tercapai.
Begitu juga dari tingkat ekonominya, yang menunjukkan ada sebagian pelajar yang sering berkelahi berasal dari keluarga mampu secara ekonomi, tuduhan lain juga sering dialamatkan ke sekolah yang dirasa kurang memberikan pendidikan agama dan moral yang baik. Begitu juga pada keluarga yang dikatakan kurang harmonis dan sering tidak berada di rumah.
Padahal penyebab perkelahian remaja atau pelajar tidaklah sesederhana itu, terutama di kota besar. Masalahnya sedemikian kompleks, meliputi faktor sosiologis, budaya, psikologis, juga kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang padat misalnya), serta kebijakan publik lainnya seperti angkutan umum dan tata kota.
Perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Terhadap kenakalan remaja ini, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik.
Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang mengharuskan mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti anggotanya, termasuk berkelahi.