Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Komitmen Polsek Telluwanua Polres Palopo dalam memberantas peredaran minuman keras (Miras) kembali ditunjukkan saat saat mengamankan miras jenis ballo di Kelurahan Jaya, Kecamatan Telluwanua, Kota Palopo, Rabu (22/12/2021).
Kapolsek Telluwanua AKP Edi Sulistiono membenarkan hal tersebut, menurutnya, miras jenis ballo ini diamankan dari kendaraan roda empat (Mobil) jenis mikrolet berwarna biru, yang membawa 17 jerigen, dengan jumlah 285 liter.
“Dari mobil mikrolet warna biru, dikemudikan oleh warga yang berdomisili di jalan Peda-Peda, Ponjalae, Wara Timur Kota Palopo ditemukan oleh personel membawa 17 jerigen, berisi 285 liter miras jenis ballo,” kata AKP Edi Sulistiono.
Disebutkan juga, dari 17 jerigen miras jenis ballo ini, milik dari warga Kota Palopo yang berbeda-beda alamat, dari dua kecamatan.
“Pemilik dari miras jenis ballo ini, merupakan milik warga Kota Palopo, namun berbeda-beda alamat, dari dua kecamatan, ada yang dari Kecamatan Wara Utara dan Kecamatan Bara,” ungkap Kapolsek Telluwanua.
Untuk memberikan sanski dan pembinaan, barang bukti miras dan pemiliknya dibawa ke Polsek Telluwanua, Polres Palopo.
Sulsel memiliki kultur yang terbilang tempramentatif. Ada filosofi siri na pacce yang dianut masyarakat yang kerap ditafsirkan keliru. Lengkapnya, di masyarakat tradisional tumbuh kebiasaan mengonsumsi miras berupa ballo.
Ballo ini yang banyak menjadi pemicu kejahatan, terutama kekerasan. Dari fakta yang ada,di masyarakat terjadi banyak konflik karena dua hal. Pertama, karena filosofi siri na pacce yang disalahtafsirkan, dan kedua karena miras (ballo) yang dikonsumsi dianggap sebagai hal yang biasa.
“Seperti fenomena begal sekarang ini, dominan pelakunya itu dalam pengaruh miras. Ada budaya keliru di masyarakat kita yang menganggap miras itu sebagai simbol kelaki-lakian. Bukan laki-laki kalau tidak minum ballo,” ujar budayawan Ishak Ngeljaratan, dalam tulisannya tentang kultur orang-orang Sulsel.
Inilah pemahaman keliru yang membudaya. Akibatnya, budaya kekerasan itu berkembang di masyarakat.
Ishak mengatakan, siri na pacce itu adalah filosofi agung. Maknanya sangat dalam. Ia menyimbolisasi orang-orang Sulsel sebagai orang yang punya siri atau malu.
“Orang Sulsel itu malu kalau berbuat jahat. Malu kalau minum ballo. Malu kalau belum bisa berbuat kebaikan untuk orang banyak,” katanya.
Bagaimana meluruskan prinsip ini? Kata Ishak, harus dimulai dari keluarga. Setelah itu kekuasaan juga berperan penting. Pemimpin harus memberi teladan bagaimana memimpin dengan benar.
“Pemimpin itu keteladanan. Kalau tidak ada keteladanan, maka jangan salahkan masyarakat jadi brutal,” jelasnya.
Pengamat komunikasi publik, Aswar Hasan berpendapat, prinsip-prinsip dasar siri na pacce memang perlu diperkenalkan lebih dalam kepada anak-anak kita. Sebab, filosofi ini sudah ditafsirkan liar dan tidak bertanggung jawab.
Bahkan ada kelompok masyarakat yang masih menganggap mengonsumsi miras sebagai bagian dari simbolisasi siri na pacce. Mereka merasa tidak hebat kalau tidak minum miras.
Kebiasaan inilah yang mesti dihapus. Stigma tersebut perlu diluruskan lewat kampanye-kampanye kantibmas. Aswar mengaku salut dengan upaya Kapolda yang terus melakukan pendekatan filosofis ke masyarakat.
“Ini bentuk pendekatan polisi secara sosial yang bisa berdampak positif. Apalagi lewat pendekatan spiritual di masjid-masjid, itu akan sangat efektif menggugah masyarakat,” imbuhnya.