Tribratanews.sulsel.polri.go.id – Jelang perayaan malam tahun baru 2020, personil Polsubsektor Bontonompo makin gencar melakukan patroli untuk mengantisipasi maraknya penyalahgunaan miras pabrikan maupun tradisional.
Berpatroli disepanjang jalan di wilayah Kecamatan Bontonompo Selatan, personel berhasil menyita miras lokal sebanyak 110 liter yang berhasil diamankan pada Senin (30/12/19) pukul 07.15 Wita.
Minuman keras tradisional ini diamankan dari seorang lelaki berinisial BR warga Bontonompo Selatan saat terduga pelaku membawa Ballo diatas kendaraan.
“Seluruh miras jenis Ballo yang diamankan selama 3 hari operasi sebanyak 310 liter dan para pelaku dibina dengan membuat surat pernyataan,” ungkap Kapolsubsektor Bontonompo Selatan Iptu Abdullah.
Ditempat terpisah Kapolres Gowa mengapresiasi upaya anggotanya dalam melakukan penangkapan terhadap miras ini, “Penangkapan dan penyitaan ballo ini sangat positif karna akan mampu meminimalisir kejahatam jelang tahun baru nantinya,” terang Akbp Boy Samola.
Banyaknya ballo yang diamankan petugas tidak terlepas dari kultur masyarakat Sulsel yang terbilang tempramentatif. Ada filosofi siri na pacce yang dianut masyarakat yang kerap ditafsirkan keliru. Lengkapnya, di masyarakat tradisional tumbuh kebiasaan mengonsumsi miras berupa ballo.
Ballo ini yang banyak menjadi pemicu kejahatan, terutama kekerasan. Dari fakta yang ada,di masyarakat terjadi banyak konflik karena dua hal. Pertama, karena filosofi siri na pacce yang disalahtafsirkan, dan kedua karena miras (ballo) yang dikonsumsi dianggap sebagai hal yang biasa.
“Seperti fenomena begal sekarang ini, dominan pelakunya itu dalam pengaruh miras. Ada budaya keliru di masyarakat kita yang menganggap miras itu sebagai simbol kelaki-lakian. Bukan laki-laki kalau tidak minum ballo,” ujar budayawan Ishak Ngeljaratan, dalam tulisannya tentang kultur orang-orang Sulsel.
Inilah pemahaman keliru yang membudaya. Akibatnya, budaya kekerasan itu berkembang di masyarakat. Ishak mengatakan, siri na pacce itu adalah filosofi agung. Maknanya sangat dalam. Ia menyimbolisasi orang-orang Sulsel sebagai orang yang punya siri atau malu.
“Orang Sulsel itu malu kalau berbuat jahat. Malu kalau minum ballo. Malu kalau belum bisa berbuat kebaikan untuk orang banyak,” katanya.
Bagaimana meluruskan prinsip ini? Kata Ishak, harus dimulai dari keluarga. Setelah itu kekuasaan juga berperan penting. Pemimpin harus memberi teladan bagaimana memimpin dengan benar. “Pemimpin itu keteladanan. Kalau tidak ada keteladanan, maka jangan salahkan masyarakat jadi brutal,” jelasnya.
Pengamat komunikasi publik, Aswar Hasan berpendapat, prinsip-prinsip dasar siri na pacce memang perlu diperkenalkan lebih dalam kepada anak-anak kita. Sebab, filosofi ini sudah ditafsirkan liar dan tidak bertanggung jawab.
Bahkan ada kelompok masyarakat yang masih menganggap mengonsumsi miras sebagai bagian dari simbolisasi siri na pacce. Mereka merasa tidak hebat kalau tidak minum miras.
Kebiasaan inilah yang mesti dihapus. Stigma tersebut perlu diluruskan lewat kampanye-kampanye kantibmas. Aswar mengaku salut dengan upaya Polisi yang terus melakukan pendekatan filosofis ke masyarakat.
“Ini bentuk pendekatan polisi secara sosial yang bisa berdampak positif. Apalagi lewat pendekatan spiritual di masjid-masjid, itu akan sangat efektif menggugah masyarakat,” imbuhnya.